Bermimpi bersama Tuhan untuk Kongregasi yang Berakar ke dalam Kristus dan Berani Bermisi
Para saudara terkasih,
Kita dua tahun lagi akan merayakan 175 tahun berdirinya Kongregasi tercinta kita. Saat kita dengan penuh syukur mengingat hari pendirian Kongregasi, saya mengundang Anda sekalian untuk menggunakan hadiah imajinatif Anda untuk mendekati keadaan batin Anthonius Maria Claret pada hari bahagia 16 Juli 1849, di Vic, Spanyol. Saya percaya, ini adalah cara yang tepat untuk menangkap semangat Kapitel Umum yang terakhir dan impian Kongregasi di zaman kita. Pada hari ini, saya mengangkat hati kepada Tuhan dalam rasa syukur memikirkan betapa banyak cinta dan kebaikan yang telah Tuhan curahkan ke dunia melalui para konfrater kita di masa lalu dan di masa kini. Memang, semuanya dimulai dengan Mimpi Tuhan yang dibuat oleh Bapa Pendiri kita pada masanya.
Mimpi Tuhan dalam Kehidupan Claret
Claret muda tumbuh dengan banyak mimpi di mana lingkungan sosial-kulturalnya tertanam dalam dirinya. Kecintaannya pada desain tekstil didukung oleh kenangan masa kecilnya untuk menenun di pabrik milik keluarganya dan impian ayahnya untuk masa depan yang sejahtera dari usaha/bisnis keluarga, membentuk mimpi manusiawinya. Rancangan untuk menggapai mimpi tersebut adalah mempelajari teknik manufaktur di Barcelona dan komitmennya untuk menjadi ahli di dalamnya. Kendati demikian, hal itu hanyalah latihan untuk suatu proyek yang lebih besar yang Tuhan pikirkan untuk Claret. Mimpi kecil seorang Claret muda membuka dirinya untuk mimpi Tuhan yang lebih besar atas dirinya. Kongregasi kita, yang melibatkan kehidupan setiap Claretian saat ini, berakar pada mimpi yang Tuhan tanamkan dalam hati Claret. Kita perlu kembali ke sumber itu setiap kali kita hendak memperbaharui dan menghidupkan kembali karisma Kongregasi di setiap zaman dan di setiap budaya.
Melalui banyaknya jalinan kehidupan, Tuhan mengungkapkan rencana-Nya bagi umat manusia di dalam sejarah. Untuk itu, Tuhan memilih orang-orang dan menganugerahkan mereka dengan semangat yang sama (karisma) untuk mengejar tujuan bersama (misi). Kelima Ko-Pendiri Kongregasi kita memiliki kepribadian yang unik dengan sejarah hidup yang unik, tetapi mereka menerima semangat yang sama untuk berjalan bersama mengejar mimpi yang sama yang Tuhan telah tanamkan dalam diri Claret. Perziarahan bersama [yang] mereka [hidupi], mengikuti pola yang sama yang diprakarsai sendiri oleh Yesus dengan kedua belas murid, yang dipraktekan oleh Gereja Perdana melalui sharing kehidupan bersama dan diutus untuk mewartakan Kabar Baik (cf. CC 4).
Kita akan merayakan dua ratus tahun kelahiran dari Ko-Pendiri termuda, P. Jaime Clotet pada 24 Juli mendatang. Lahir di Manresa dalam sebuah keluarga religius, dia masuk seminari di Vic dan ditahbiskan sebagai imam diosesan. Uskup Vic, melihat semangat misionernya, mengusulkan kepada P. Jaime muda untuk bergaum dengan Claret untuk mengambil bagian dalam proyek misioner barunya pada 16 Juli 1849. Dalam komunitas misionarisnya yang baru, P. Jaime menemukan kehidupan spiritual, komunitas, dan apostolik yang intens, yang membentuknya menjadi seorang rasul dan mistikus yang berakar di dalam Kristus. Dia berani mendedikasikan dirinya untuk berkatekese tunarungu, untuk formasi para frater, dan untuk berbagai pelayanan internal dalam komunitas. Dalam [diri] Hamba Tuhan (the servant of God) Jaime Clotet, kita menemukan teladan yang sangat baik dari seorang misionaris Claretian, seorang sahabat Bapa Pendiri yang setia, seorang misionaris yang tak kenal lelah, yang cinta dan hidup untuk Kongregasi tercinta kita dengan penuh sukacita. Kita akan merayakan ulang tahun kelahirannya dengan perasaan syukur kepada Tuhan atas kesaksian hidup yang dihayati untuk mewujudkan mimpi Tuhan terhadap Kongregasi.
Mimpi Tuhan untuk Kongregasi di Zaman Kita
Kita telah sering menggunakan term “Mimpi” pasca Kapitel Umum XXVI dan setiap Organisme Mayor telah menguraikan mimpi mereka masing-masing dalam terang Mimpi Kongregasi. Kita perlu memahami term dalam arti alkitabiahnya yang menunjukkan arah yang Tuhan berikan kepada manusia melalui mimpi dan penglihatan pada momen-momen penting dalam sejarah keselamatan, yang berpuncak pada peristiwa Yesus.[1] Inisiatif Ilahi dan kerjasama manusia [sedang] memimpin sejarah menuju kepenuhan (pleroma) di dalam Kristus (cf. Kol 3:19-21). Kita adalah bagian dalam aliran sejarah itu dengan karunia karisma kita yang terjalin dengan karunia dan karisma lain untuk membangun Gereja, tubuh mistik Kristus (cf. 1 Kor 12; Ef 4:12-16)
Pada awal [berdirinya] Kongregasi kita, Bapa Pendiri kita dengan mahir menggambarkan Mimpinya untuk seorang putra Hati Maria sebagai “seorang yang berapi dengan cinta kasih dan membakar di mana saja dia lewat…” (cf. Auto 494; CC 9). Definisi misionaris ini terus mengundang kita untuk menjadi misionaris yang berakar di dalam Kristus dan berani bermisi. Mimpi Kongregasi yang terartikulasi dalam Kapitel Umum XXVI (cf. QC 43) merupakan suatu aktualisasi mimpi Claret untuk zaman kita dalam kesetiaan pada karisma kita. Sejarah Claretian telah menjadi [saksi] perkembangan mimpi ini pada setiap konteks dan zaman yang dia ramalkan ketika dia menulis kepada Nuncio tak lama setelah pendirian [Kongregasi], “Roh saya berlangkah ke seluruh dunia”.[2]
Mimpi Kongregasi [hanya] akan menjadi ilusi belaka kecuali [kalau] kita membuatnya menjadi milik kita sendiri pada level setiap Claretian, setiap komunitas, semua Organisme Mayor, dan Kongregasi pada umumnya melalui rencan (designs) dan komitmen yang sesuai. Di sinilah orkestrasi yang indah dari kolaborasi ilahi-manusia terjadi, yang membuat hidup kita menjadi simfoni yang indah dari kasih Tuhan bagi dunia. Ada baiknya untuk bertanya pada diri sendiri setelah merenungkan Mimpi Kongregasi:
Apa yang akan menjadi Mimpi Tuhan bagi saya dalam hidup dan pelayanan saya saat ini dalam terang Mimpi Kongregasi? Apa yang akan menjadi Mimpi Tuhan bagi komunitas saya dalam terang Mimpi Organisme Mayor?
Mimpi dan Kenyataan Dosa serta Keterbatasan Kita
Artikulasi Mimpi Kongregasi untuk zaman kita hanyalah titik berangkat karena pekerjaan rumah masih harus dikerjakan oleh setiap misionaris dan setiap komunitas untuk berjalan menuju mimpi itu. Kehidupan Bapa Pendiri kita dan sejarah Kongregasi mengingatkan kita akan kesulitan, penganiayaan, dan bahkan kemartiran demi Kristus. Kita juga perlu memperhitungkan dosa, keinginan, dan ketakutan kita yang mungkin dapat menghalangi kita untuk memenuhi komitmen yang telah dibuat.
Kekuatan kita masing-masing untuk berjalan bersama Tuhan dan mewujudkan mimpi Tuhan bagi Kongregasi memberi kita alasan untuk berharap di tengah cobaan dan kesengsaraan. Demikian pula, kita perlu mengakui dan menangani secara kreatif kemungkinan kita untuk menyakiti orang lain dan menciptakan neraka bagi diri sendiri dan orang lain ketika api kasih Tuhan tergantikan oleh amarah kebencian, ketidakpercayaan, dan persaingan [negatif]. Virus spiritual yang menginfeksi dan mendistorsi pikiran dan hati para misionaris (misalnya, keegoisan, kemalasan spiritual, klerikalisme, keduniawiaan spiritual, individualisem, pesimisme…[3]) dapat merusak visi kita tentang orang lain dan dunia, melukai persaudaraan dan merusak kerasulan.
Menarik untuk dicatat tentang bagaimana Claret mengagumi setiap anggota komunitas apostoliknya di Kuba[4] yang mana mirip dengan komunitas Kristen Perdana dan bagaimana mereka pergi mengadakan misi berkotbah di seluruh wilayah keuskupan yang luas itu. Kita bisa melihat secara sekilas gaya sinodal dalam cara Claret mengatur kehidupan dan tim misi misionaris sebagai Uskup Agung Santiago Cuba. Jika kita memupuk pola pikir/mentalitas apresiatif dari Bapa Pendiri kita, komunitas kita akan menjadi seperti “sarang lebah” apostolik para misionaris.[5] Sinodalitas semacam itu sine qua non (=tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting) untuk mewujudkan Mimpi Tuhan bagi Kongregasi.
PERJALANAN SINODAL, PENANGKAL BANYAK PENYAKIT GEREJA DAN KONGREGASI
“Berjalan bersama mendengarkan satu sama lain dan Roh Kudus” merupakan inti dari perjalanan sinodal yang diundang oleh Paus Fransiskus untuk dipeluk oleh seluruh Gereja. Kongregasi kita menyambutnya dengan sepenuh hati karena Roh telah mempersiapkan kita untuk menempuh jalan itu melalui persiapan dan perayaan Kapitel Umum XXVI. Saya berterima kasih kepada Tuhan dan mengagumi semangat dan komitmen dari sebagian besar misionaris kita. Komunitas kita di mana saudara-saudara kita menikmati persaudaraan dan saling menghormati bekerja sama untuk misi bersama komunitas dengan energi yang luar biasa. Saya telah bertemu dengan orang-orang yang menceritakan dengan amat baik terkait kesaksian mengenai saudara-saudara kita dan keindahan komunitas antarbudaya yang membangun mereka. Komunitas-komunitas ini telah mengembangkan kemampuan untuk bekerja sama sebagai sebuah tim, merangkul perbedaan, merundingkan konflik, melengkapi dan mendukung satu sama lain dengan karunia unik yang dimiliki setiap orang, dan membayangkan (ENG: envisioning; ESP: visualisando) dan menjalankan misi kita bersama.
Salah satu tantangan yang akan saya soroti sebagai yang paling serius mempengaruhi kehidupan misioner dari banyak komunitas kita adalah sulitnya bekerja bersama secara sinodal. Kita telah menghadapi situasi relasional dalam komunitas yang telah menyebabkan telah menyebabkan kerugian serius dan penderitaan yang tidak semestinya pada individu-individu dan misi komunitas, tragedi-tragedi yang dapat dihindari jika terdapat percakapan yang jujur dan dilakukannya dialog persaudaraan. Betapa banyak kesempatan untuk anugerah dan pertumbuhan yang telah hilang dalam misi karena kita gagal untuk merencanakan dan untuk bekerja sama demi kebaikan misi! Betapa banyak saudara-saudara kita mengalami situasi yang merusak diri sendiri karena mereka menolak untuk menerima umpan balik, atau rekan-rekan mereka gagal memberikan koreksi persaudaraan di waktu yang tepat! Meskipun perbedaan, ketegangan, dan konflik dalam komunitas adalah hal yang wajar dan memiliki potensi produktif dalam diri mereka (ENG: have productive potential in themselves), penghindaran atau pengelolaan yang tidak sehat membuka pintu bagi iblis perpecahan dan berbagai jenis penyalahgunaan (penyalahgunaan seksual, keuangan, dan kekuasaan) dalam ruang hidup dan misi kita.
Di zaman kita yang penuh tantangan, sangat penting untuk mempelajari seni percakapan yang jujur, dialog, penegasan komunitas, membangun konsensus dan berjalan bersama sebagai sebuah peziarahan ke arah yang Tuhan tunjukkan melalui tanda-tanda zaman. Bersama Paus Fransiskus, kami juga menegaskan bahwa “jalan sinodalitas inilah yang diharapkan Allah dari Gereja milenium ketiga.”[6] Oleh karena itu, marilah kita memupuk spiritualitas sinodal dan membuka diri untuk pertobatan sinodal untuk menyambut perubahan yang diperlukan dalam cara kita bekerja bersama dan mendengarkan satu sama lain dan Roh Kudus.
Marilah Berjalan Bersama!
Suatu perjalanan ziarah dalam pelayanan Mimpi Tuhan akan bermakna dan menyenangkan ketika dilakukan bersama-sama dengan orang lain yang menghadapi kesulitan bersama, dengan berat beban yang dipikul bersama (ENG: with minimum luggage to carry), dan dengan kemauan untuk maju. Bapa Pendiri dan Ko-Pendiri kita sigap dan siap untuk bermisi karena hati mereka berakar di dalam Kristus, pikiran mereka terfokus pada misi-Nya, kaki mereka bebas untuk bergerak ke mana Dia inginkan agar mereka pergi, dan tangan mereka siap melayani umat-Nya. Marilah kita menjadikan mistik misioner mereka menjadi milik kita dan marilah kita menghidupkan semangat mendasar itu hari ini. Kita mesti mempercayakan perziarahan kita kepada Bunda Yang Terberkati yang menemani dan menyayangi putra-putranya dalam hatinya yang tak bernoda, seperti yang dia lakukan untuk Putranya Yesus dan Bapa Pendiri kita St. Antonius Maria Claret. Selamat merayakan Hari Pendirian Kongregasi untuk kalian semua!
[1] Kami menggunakan istilah Mimpi untuk menunjukkan makna yang lebih mendalam seperti yang digunakan oleh Paus Fransiskus dan untuk membedakannya dari mimpi yang mengacu pada imajinasi fantastis selama tidur atau fantasi angan-angan dari seorang pelamun.
[2] Surat kepada Nuncio Brunelli pada 12 Agustus 1849.
[3] Cf. Paus Fransiskus menjelaskan beberapa di antaranya dalam Evangelii Gaudium, 76-109.
[4] Cf. Antonius Maria Claret, Autobiografi 606-613.
Oebobo, Kupang. Jaringan Solidaritas Kemanusiaan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengundang secara terbuka Semua elemen masyarakat yang mencintai kemanusiaan dan keadilan untuk melakukan Aksi Bakar Lilin Bersama Menentang Putusan Bebas Majikan Adelina Sau dan Memperingati Hari Anti Penyiksaan Sedunia.
Aksi bakar lilin ini berlangsung di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur pada Sabtu, 02 Juli 2022. Adapun agenda yang dilakukan adalah pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu nasional, orasi, pernyataan sikap dan doa bersama. Aksi ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian sekaligus respon terhadap tindak kekerasan yang dialami oleh para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.
Kejahatan kemanusiaan telah menimbulkan luka dan trauma mendalam bagi korban sendiri, keluarga dan juga rakyat yang masih memiliki nurani. Adelina Lisao/Sau, PMI asal Kab. TTS, NTT disiksa dan diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, Ambika MA Shan di Malaysia, hingga kemudian meninggal dunia secara menggenaskan pada 11 Februari 2018.
Proses persidangan terhadap majikan Adelina berlangsung tarik ulur di Malaysia. Hingga pada 23 Juni 2022 Mahkamah Tinggi Malaysia menjatuhkan putusan bebas pada majikannya. Berbeda dengan proses peradilan di Indonesia sindikatnya malah telah terpenjara.
Kembali ke tahun 2015 silam, Mariance Kabu, salah satu PMI asal TTS, NTT mengalami kekerasan luar biasa oleh majikannya, Ong Sung Ping Serene di Malaysia. Walaupun selamat dari maut, tapi luka dan trauma masih dirasakan Mariance hingga saat ini. Majikannya sempat diproses secara hukum, namun tidak ada kejelasan putusan hukum hingga hari ini. Itu berarti majikannya masih bebas berkeliaran.
Keputusan ini mengiris hati dan memicu kemarahan publik. Seolah-olah tak puas dengan mengirim jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT hampir setiap hari, Malaysia malah memvonis bebas majikan yang tangannya berdarah.
Aksi solidaritas kemanusiaan yang menuntut keadilan bagi keluarga Adelina Sau berjalan damai. Aksi ini dibuka dengan doa yang dibawakan oleh Sr. Maria Funan, RVM, kemudian diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pada tempat pertama, Pdt. Emmy Sahertian menyampaikan sambutannya untuk menyemangati para relawan yang berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan. Pdt. Emmy meminta semua orang untuk tidak lupa melibatkan Tuhan di dalam setiap aksi kemanusiaan sebab jika tanpa Tuhan apa yang dilakukan tidak berarti apa-apa.
“Tanpa doa dan refleksi, perjuangan itu tidak bernyawa. Hari Anti Kekerasan Internasional kita rayakan mengingat provinsi NTT tidak luput dari kekerasan. 1000 lilin bagi perjuangan bagi kobaran kekerasan. Kasus Adelina Sau. Dipekerjakan tanpa hak yang jelas. Disiksa dan ditidurkan bersama anjing”, ungkap Pdt. Emmy dalam sambutannya.
Selanjutnya, pendeta kelahiran Kupang, 27 Desember 1957 ini menegaskan bahwa keputusan bebas bagi mantan majikan Adelina Sau adalah suatu tamparan keras bagi Indonesia dan NTT. Pdt. Emmy juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka namun dengan kekerasan yang dialami oleh para TKW seolah membuat negara Indonesia belum merdeka.
Dua kasus kekerasan TKW yang dialami oleh para TKW asal NTT patut mendapat perhatian dari pemerintah daerah agar tidak lagi meloloskan para TKW ke luar negeri. Kasus yang menimpa Mariance Kabu yang siksa hingga menjadi cacat merupakan catatan suram bagi pemerintah NTT.
Kasus terakhir adalah tentang penyiksaan terhadap ibu dan anak di NTT yang sedang hangat adalah kasus pembunuhan Astrid dan Lael. Ini merupakan kasus bersama yang perlu dicari jalan keluarnya. NTT harus menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak. Jika tidak maka kita bagian dari penindasan. Semua warga negara Indonesia wajib berteriak bersama untuk keadilan.
“Kita ikut merasakan kehilangan bersama keluarga. Doa kita menguatkan keluarga agar tidak merasa sendiri. Ini penghinaan terhadap ciptaan Tuhan. Kejadian ini seperti.menampar pipi bangsa Indonesia” demikian kata Pdt. Emmy.
Setelah sambutan dari Pdt. Emmy, acara dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian pengalaman pahit yang diderita oleh Mariance Kabu selama delapan bulan bekerja di Malaysia.
Mariance Kabu adalah Korban. Ia mengalami sendiri bagaimana ia diperlakukan tidak manusiawi selama di Malaysia. Ia sangat sedih menghadapi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Mereka yang disiksa tidak ada yang mampu menolong selain dari Tuhan.
“Kita berduka bersama keluarga Adelina, sebab kita semua juga adalah korban. Jangan hanya diam ketika mendengar keputusan bebas mantan majikan Adelina Sau. Kita tidak boleh ada ketakutan dalam hati sebab di dalam hati kita ada Tuhan”, tukasnya.
Menurut pengakuan Mariance bahwa pada pertama kali kerja harus ditandatangani perjanjian untuk tidak melarikan diri dan pindah majikan. Jika hal itu dilanggar maka maut akan merenggut mereka. Kendati disiksa hingga mandi darah mereka harus tetap setia bekerja pada majikan yang sama.
“Ada perjanjian yang harus kami ditandatangani. Kami tidak boleh tukar majikan. Meski mandi darah setiap hari. Di tangan majikan hanya penyiksaan. Dan banyak TKW ketika kembali hanya peti mayat. Kami tidak pernah duduk di kursi. Selalu duduk di lantai dengan anjing. Kami memilih duduk dilantai saja yang penting tidak disiksa dan dipukul”, ungkap Mariance
Tidak ada yang mampu membebaskan mereka dari majikan yang kejam. Dalam kesaksiannya, ia sempat menyentil bahwa kalau semua kaya maka tidak ada yang mengemis dan kalau semua miskin tidak ada yang berbagi.
Sementara itu, P. Selestinus Panggara, CMF, yang mewakili kelompok religius dan saudara-saudari dari agama Katolik, juga turut menyampaikan isi hatinya terkait peristiwa yang menimpa Adelina Sau
“Mewakili kelompok religius dan teman Kristen Katolik. Saya mengucapkan turut berdukacita atas kematian Adelina Sau yang meninggal akibat tindakan perdagangan orang. Rasa prihatin yang mendalam kepada korban atas tindak kekerasan yang dialaminya”, kata P. Seles, CMF selaku koordinator SOMI Claret.
Pastor dari Kongregasi Para Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria ini juga mengungkap bahwa ada banyak saudara-saudari yang mengadu nasib demi keluarga tetapi mereka diperlakukan seperti bintang. Mereka disiksa secara membabi-buta tanpa alasan yang jelas. Untuk itu, P. Seles meminta agar semua pihak mau memperhatikan nasib dari saudara-saudari yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Beliau juga menyemangati para relawan kemanusiaan yang hadir untuk terus mendesak pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan yang dialami oleh para pekerja migran.
“Hal ini sangat menyayat hati. Semua agama menjunjung tinggi nilai luhur manusia. Dimaki saja sakit, apalagi mengalami kekerasan fisik yang luar biasa. Jangan diam. Kita harus berjuang bersama-sama. Para pemimpin terus berjanji untuk melibas semua orang yang terlibat dalam perdagangan orang. Meskipun sedikit tapi jika berjuang maka akan ada hasil jika pemerintah diam.
Tini, yang berasal dari Rumah Milenial Indonesia (RMI), mengungkapkan bahwa dalam hal keadilan tidak boleh memandang agama.
“Tidak boleh memandang agama apa pun. Setiap orang berhak untuk hidup aman” demikian sambutan singkat dari Tini mewakili suara orang Islam.
Acara pembakaran lilin tersebut memiliki tiga tujuan, yakni untuk mengenang kematian Adelina Sau sekaligus menentang hasil putusan pengadilan yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau; untuk mendukung Ibu Mariance Kabu; dan sebagai malam peringatan bagi semua orang yang mengalami kekerasan di dalam masyarakat di Hari Anti Penyiksaan Sedunia.
Ada pun organisasi yang terlibat dalam aksi bakar 1000 lilin adalah Jaringan Solidaritas Kemanusiaan; IRGSC; JRUK Kupang; Komunitas Hanaf; RMI (Rumah Milenial Indonesia); Sekolah Harmoni Kupang; Garda BMI NTT; LMID Eksekutif Kota Kupang; Sahabat Solidaritas Perempuan NTT; JPIC Divina Providentia; Serikat Buruh Migran Indonesia-NTT; Rumah Harapan-Kupang; Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-Kupang (OPSI); Talitakhum Indonesia; Talitakum Kupang; Komunitas RVM; Komunitas SSpS; JPIC Claretian/SOMI CLARET; dan Senat Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Aksi ini ditutup dengan pembacaan sembilan tuntutan yang diantaranya mengutuk keras aksi kekerasan yang dialami oleh para pekerja di luar negeri, menuntut pemerintah untuk mengusut lagi hasil pengadilan Malaysia yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau serta meminta kejelasan status hukum dari kasus Mariance Kabu dan meminta pemerintah menyelesaikan kasus yang masih menumpuk di meja Polda NTT.
Penfui, Kupang. Senat Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Widya Mandira (UNWIRA) Kupang menyelenggarakan Festival budaya di Aula St. Maria Imaculata, di Kampus UNWIRA Kupang. Festival ini diselenggarakan dengan tema “Membangun Semangat Multikulturalisme dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika” yang dilaksanakan pada 26-27 Juni 2022.
Dalam memeriahkan festival budaya tersebut, diadakan berbagai pertunjukan seni budaya dari berbagai daerah di NTT dan dari luar NTT yang diwakili oleh setiap mahasiswa yang berkuliah di UNWIRA Kupang.
Perayaan puncak Festival budaya ini juga diikuti oleh beberapa fakultas yang bernaung di bawah payung kampus UNWIRA, seperti Fakultas Teknik, FKIP dan lain-lain. Ada juga komunitas lain di luar UNWIRA, seperti STIKES Maranata dan anak-anak asrama yang tinggal di Rusun UNWIRA Kupang tetapi berkuliah di kampus lain, turut memeriahkan malam pentas seni budaya.
Kegiatan ini dilaksanakn dengan satu niat bahwa para mahasiswa harus berpikir sendiri untuk meningkatkan nilai seni budaya dari masing-masing daerah di NTT, seperti kerajinan tangan, tarian dan karya local lainnya, agar seni budaya tersebut tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri tetapi bermanfaat juga bagi orang lain.
“Sudah beberapa hari mengikuti festival budaya dengan tema berani berpikir sendiri. Berani berpikir sendiri yaitu bagaimana sebagai mahasiswa berpikir untuk memanfaatkan karya-karya lokal yang ada dalam budaya kita masing-masing; kerajinan tangan, tarian dan beberapa karya lokal yang kita miliki bisa kita berdayagunakan agar berfungsi untuk orang lain.” ungkap Fr. Fransiskus Xaverius Subun.
Mahasiswa semester 6 Fakultas filsafat tersebut menuturkan bahwa dengan adanya festival budaya ini, para mahasiswa/mahasiswi yang berlatar belakang budaya berbeda dapat saling bekerjasama. Para mahasiswa/mahasiswi bisa melihat, menilai bagaimana perbedaan budaya yang dimiliki bisa bermanfaat bagi orang lain terlebih untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Mei Maria dari Komunitas SEPEKita turut berpartisipasi dalam kegiatan festival ini. Dara asal Sumba Barat Daya ini menuturkan bahwa dia dipercayakan untuk menjaga stan dan mempromosikan bahan dan kerajinan tangan yang terbuat dari lontar serta bahan tradsional lainnya. Dia sangat senang karena bisa belajar budaya dari daerah-daerah lain di NTT bahkan dari luar daerah NTT, yaitu Timor Leste.
Komunitas SEPEKita Mendukung Kreativitas Mahasiswa
Komunitas SEPEKita mendukung kreativitas mahasiswa dengan turut terlibat aktif dalam menyediakan bahan-bahan atau hasil karya dari barang-barang lokal, seperti kerajinan tangan dari daun lontar dan aneka minuman dari daun kelor serta kripik pisang.
Fr. Fransiskus menyampaikan bahwa kehadiran SEPEKita sebagai perwakilan dari para mahasiswa Claretian yang berhalangan hadir, sangat membantu proses persiapan dan berjalannya festival budaya yang diselenggarakan. Karya-karya kerajinan tangan dan produk minuman herbal yang ditampilkan bernilai guna bagi para pengunjung.
“Teman-teman tingkat tiga Claretian yang tidak hadir karena ada halangan. Karena itu, mereka mengutus Komunitas Awam Claretian (SEPEKita) untuk membantu kami. Dengan bantuan dari Komunitas Awam Claretian sebagai perwakilan dari Claretian, membantu kami dalam persiapan stan sedemikian rupa, dengan berbagai macam aksesoris budaya lokal, berbagai macam kerajinan tangan yang bernilai guna bukan hanya untuk kami tetapi untuk orang lain, para pengunjung dan ada juga yang membeli. Ada suatu nilai yang kita ekspresikan bahwa apa yang kita miliki sebenarnya bukan hanya berguna untuk kita sendiri tetapi juga berguna untuk orang lain”, ungkapnya.
Penyelenggaraan festival budaya ini semakin menyadarkan mahasiswa/mahasiswi bahwa perbedaan kebudayaan dan seni budaya yang dimiliki sangat bernilai guna untuk membantu orang lain. Setiap orang yang berbeda budaya tidak harus saling mengabaikan tetapi bekerjasama agar setiap budaya yang berbeda bisa diolah dan dikreasi menjadi satu hasil karya yang memiliki nilai guna bagi yang lain.
(Mgr. Edmund Woga, C.Ss.R Mengingatkan Soal Pelayanan dari Seorang Diakon)
Penfui, Kupang. Bertepatan dengan Pesta Bunda Maria Mengunjungi Elisabet dan Claretian Vocation Day, Mgr. Edmund Woga, C.Ss.R telah menahbiskan tiga frater Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste Kongregasi Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria menjadi diakon. Misa tahbisan diakonat itu dilaksanakan di Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui, Kupang, pada Selasa (31/5/2022).
Tiga frater yang telah ditahbiskan menjadi diakon dari Kongregasi Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria adalah Dkn. Anggalius Yoseph Usfal, CMF; Dkn. Edvan Andreas Ruu, CMF; dan Dkn. Patris Urbat, CMF.
Dalam homilinya, Mgr. Edmund mengingatkan para calon diakon akan pentingnya dimensi pelayanan sebagai panggilan dari seorang diakon menjadi pelayan Allah untuk melayani umatNya. Mgr. Edmund mengambil Yohanes dan Yesus sebagai gambaran teladan dalam pelayanan.
“[Yohanes] Menjadi pelayan bagi Mesias. Sementara Mesias sendiri menyatakan dirinya sebagai Hamba Allah. Itu berarti bahwa semua cerita ini berkisah sekitar karya pelayanan. Dan itu yang sedang kita rayakan pada hari ini”, jelasnya.
Dengan ditahbiskan menjadi diakon, Mgr. Edmund mengajarkan para diakon bahwa spirit tahbisan diakonat tidak bisa dilepaskan setelah menerima tahbisan imamat. Dengan demikian, para diakon diingatkan bahwa seorang diakon adalah tetap seorang pelayan, bukan tuan.
“Kita harus tetap menjadi pelayan, tetap menjadi hamba bagi Tuhan dan bagi umat-Nya. Kalau tidak demikian, kita gagal. Dan kalau kita gagal, itu berarti bahwa kita tidak ikut ambil bagian dalam rahmat pentahbisan yang kita terima”, tegasnya.
Uskup Keuskupan Weetebula ini juga mengajak para diakon untuk menjadikan pelayanan sebagai bagian dari diri yang tak bisa dilepas begitu saja. Pelayanan mestinya menjadi inti dari kehidupan para diakon.
“Hakekat pelayanan harus menjadi hakekat di dalam kehidupan dan gerak-gerik sikap dan tingkah laku kita sehari-hari dalam rangka kita menjawab panggilan Allah bagi kita untuk menjadi pelayan khusus di dalam Gereja”, katanya.
Pada kesempatan berahmat itu pula, Uskup kelahiran Hewokloang, Sikka, 17 November 1950 ini juga mengingatkan para diakon untuk senantiasa mengingat tugas penting seorang diakon, yakni berdoa. Berdoa adalah tugas rohani dari seorang diakon. Tugas ini tidak bisa lepas dari diri seorang diakon.
Selain menahbiskan para frater dari Kongregasi Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria, Mgr. Edmund Woga, C.Ss.R juga menahbiskan 11 frater dari Keuskupan Agung Kupang, 5 frater dari Keuskupan Weetebula, dan 1 frater dari Keuskupan Atambua.
Profisiat untuk para frater yang telah ditahbiskan menjadi diakon, khususnya tiga saudara dari Kongregasi Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria. Selamat menjadi pelayan Allah dan pelayan umat Allah.
Benlutu, Timor Tengah Selatan. Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste memulai pembangunan penambahan unit rumah retret Claret di Novisiat Claretian Benlutu pada Senin (16/5).
Pater Superior Mayor Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste, P. Valens Agino, CMF, memulai rangkaian pembangunan penambahan unit rumah retret itu dengan acara peletakan batu pertama. Ibadat peletakan batu pertama dipimpin langsung oleh P. Valens dengan didampingi Prefek Spiritualitas, P. Robertus Wontong, CMF.
Dalam perencanaannya, pembangunan penambahan unit rumah retret Claret yang baru masih se-lokasi dengan gedung rumah retret yang lama. Tepatnya di sebelah Timur gedung rumah retret Claret yang lama.
Tujuan dari pembangunan rumah retret ini adalah untuk menambah unit gedung rumah retret Claret. Sebab, selama ini keluhan sering terdengar dari orang-orang yang ingin mengadakan kegiatan di rumah retret Claret adalah daya tampung rumah yang terlalu kecil sehingga hanya sedikit orang saja yang bisa membuat kegiatan di rumah retret Claret, Benlutu.
Dengan demikian, melalui pembangunan gedung baru ini, daya tampung rumah retret Claret semakin lebih besar dan orang-orang tidak lagi kesulitan mencari tempat berkegiatan yang bisa menampung orang dengan jumlah yang banyak.
Adapun harapan yang ada di balik pembangunan ini adalah agar semakin banyak orang yang bisa membuat kegiatan di rumah retret Claret, khususnya yang hendak mengadakan kegiatan-kegiatan rohani, agar semakin banyak orang bisa menemukan Tuhan di keheningan rumah retret Claret, Benlutu.
Peletakan batu pertama pembangunan penambahan unit rumah retret Claret itu dihadiri oleh Dewan Delegasi Independen Indonesia Timor Leste, para pater dan frater novis Komunitas Novisiat Claretian Benlutu, dan para pater dan bruder yang sedang melaksanakan program Tanur di rumah retret Claret, Benlutu.
Terkait pembangunan penambahan unit rumah retret Claret ini, Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste terbuka hati kepada siapa saja yang ingin turut serta mendukung pembangunan penambahan unit rumah retret ini.
Salah satu cara yang ditawarkan adalah dengan membeli produk dari tim pemberdayaan ekonomi ibu-ibu kelompok “Caminare” yang berada dalam naungan Komunitas SEPEKITA (kelompok yang didampingi Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste). Produk yang ditawarkan adalah minuman herbal, seperti minuman instan jahe rempah, minuman instan temulawak, dan minuman instan kunyit asam.
Bagi yang hendak mendukung pembangunan penambahan unit rumah retret ini bisa menghubungi P. Itho Nurak, CMF (0853-6224-2504), ibu Tini (0878-1706-0200), P. Doni, CMF (0821-4484-5702).