Kupang, Indonesia. Dalam rangka merayakan Pekan Sabda Allah, Prefek Kitab Suci dan Komunikasi Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste mengadakan webinar Kitab Suci pada 26-28 Januari 2023. Tema yang diangkat dalam webinar ini adalah “Analisis Naratif dalam Memahami dan Menghayati Kitab Suci”.
Pada kesempatan webinar ini, delegasi menghadirkan Hortensius F. Mandaru, SSL sebagai pembicara dan P. Dr. Valens Agino, CMF sebagai penanggap. Adapun juga seminar ini dimoderatori oleh P. Yeremias Nardin, CMF, S.S., B.Th.
Hari I
Webinar bersama Hortensius F. Mandaru ini terbagi atas dua hari. Pada hari pertama, dalam pemaparannya, Hortensi mengungkapkan bahwa membaca teks Kitab Suci itu seperti melihat suatu dunia melalui jendela. Jendela tersebut membantu pembaca untuk melihat suatu dunia, yakni dunia Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Selain itu, pembina penerjemaah Kitab Suci di LAI ini menuturkan bahwa Kitab Suci itu sendiri adalah cermin bagi si pembaca. Sebagai cermin, Kitab Suci membantu si pembaca untuk melihat dirinya sendiri. Dengan demikian, si pembaca bisa melihat apa yang tidak bisa dilihatnya sendiri.
Namun, dalam pembahasannya, Hortensi mengungkapkan bahwa acapkali dalam pembacaan teks Kitab Suci segelintir pembaca sering jatuh dalam tiga godaan besar, yakni pembaca cepat puas dengan teks yang sejatinya baru dibaca sekilas dengan anggapan bahwa dirinya sudah biasa membaca teks tersebut, pembaca sibuk mencari data-data historis yang ikut andil dalam mengkonstruksi suatu teks Kitab Suci, dan pembaca tidak memiliki pemikiran kritis atas teks yang dibacanya sehingga tidak memunculkan pesan baru dari teks tersebut.
Untuk itu, dalam menangkal tiga godaan tersebut, pria kelahiran Waerana, Manggarai ini mengundang pembaca untuk terlibat dalam teks yang dibaca. Terdapat tiga aturan yang perlu diperhatikan. Pertama, pembaca diundang untuk mengambil bagian dalam pengalaman para tokoh, sehidup dan sekonkrit mungkin. Di sini, pembaca terlibat aktif dan masuk dalam suasana cerita. Untuk itu, menurut Hortensi, pada tahap ini imaginasi sangat diperlukan untuk membayangkan situasi cerita.
Kedua, penting bagi pembaca untuk melihat ujian yang dihadapi tokoh-tokoh dalam cerita atau pilihan-pilihan apa saja yang diambil oleh tokoh-tokoh. Sebuah cerita teks berkembang karena adanya ujuan dan pilihan dari para tokoh.
Ketiga, pembaca cerita teks Kitab Suci diharapkan untuk melihat dengan saksama perbedaan antara awal dan akhir cerita. Di sini, pembaca diminta untuk melihat dengan cara apa tokoh dalam cerita tersebut berubah dan apa saja penyebab dari perubahan itu.
Bagi Hortensi, seorang pembaca teks Kitab Suci mesti membaca sebuah teks dengan saksama. Seorang pembaca mesti jeli mendengarkan suara dan sinyal yang datang dari teks Kitab Suci. Untuk dapat mendengarkan suara dan sinyal tersebut, Hortensi menyarankan untuk membaca teks Kitab Suci berulang kali.
Pada bagian terkahir presentasinya, Hortensi juga mengajak peserta seminar untuk jeli melihat plot yang dibentuk oleh cerita Kitab Suci yang ada, mulai dari situasi awal cerita, problem yang tercipta, aksi transformatif, solusi yang ditawarkan, dan situasi akhir cerita. Pada kesempatan ini pula, Hortensi mengajak langsung perserta untuk melihat teks naratif dari Mark 7:24-30 tentang Perempuan Siro-Fenisia yang percaya dan Mrk 7:31-37 tentang Yesus menyembuhkan seorang tuli.
Hari II
Kemudian pada hari kedua, Hortensi kembali mengajak peserta untuk melihat-lihat dunia seputar teks Kitab Suci. Kali ini, pembicaraan lebih berfokus pada tokoh, penokohan dan latar belakang teks. Pada bagian tokoh, Hortensi memaparkan adanya dua model tokoh yang akan selalu mewarnai teks, yakni protagonis dan antagonis. Protagonis merupakan tokoh utama yang selalu hadir dan memiliki peranan penting dalam cerita, sedangkan antagonis merupakan lawan dari tokoh antagonis.
Dalam Kitab Suci, Yesus sering ditampilkan sebagai tokoh protagonis. Namun, tidak menutup kemungkinan bila ada tokoh lain yang menjadi tokoh protagonisnya. Atau bisa juga dalam satu cerita, terdapat beberapa tokoh protagonis. Hortensi memberi contoh teks “Janda di Naim” yang mana dalam teks tersebut Yesus, si janda dan si anak meninggal disebutnya sebagai tokoh protagonis.
Selain itu, ada pula tokoh agen dan tokoh type. Tokoh agen ini merupakan pemeran pembantu yang membuat alur cerita menjadi lebih maju. Kendati demikian, bagi Hortensi, keberadaan mereka cukup penting dalam cerita. Sedangkan tokoh type ini hanyalah tokoh latar yang mempermanis cerita. Mereka ini yang sering muncul dengan nama ‘orang banyak’, seorang yang lewat’, dan sebagainya. Hortensi memberi contoh pasukan Israel dan pasukan Filistin dalam kisah Daud vs Goliath.
Selanjutnya, Hortensi memaparkan tentang tokoh Maria Magdalena dalam Yohanes 20:1-2, 11-18. Bagi Hortensi, penekanan dari teks ini tidak sekadar menampilkan bukti bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, tetapi juga tentang Maria Magdalena yang menjadi saksi dari kebangkitan Yesus. Hortensi juga menekankan bahwa cerita kebangkitan ini merupakan cerita milik Maria Magdalena (her-story) Dengan demikian, sebagai saksi kebangkitan, Maria Magdalena mengemban tugas untuk mewartakan berita gembira tentang kebangkitan Yesus kepada para murid dan semua orang. Inilah alasan mengapa Maria Magdalena mendapat julukan Apostola Apostolorum (Rasul bagi para Rasul).
Hortensi juga memaparkan tentang latar. Penulis buku Daya Pikat dan Daya Ubah: Cerita Alkitab (Pengantar Tafsir Naratif) ini menampikan empat fungsi dari adanya latar dalam sebuah cerita, yakni memberikan suasana tertentu pada cerita; memperlihatkan sekaligus menegaskan ciri seseorang; meningkatkan tensi konflik; serta menentukan struktur dan kesatuan cerita.
Pada pemaparannya, Hortensi menampilkan beberapa latar yang ada dalam cerita teks Kitab Suci, yakni pertama, latar geografi berupa tempat-tempat seperti Galilea dan Yerusalem. Kedua, latar topografis berupa tempat-tempat seperti padang gurun, Sungai Yordan, danau, gunung, dan jalan. Ketiga, latar arsitektural berupa tempat-tempat seperti rumah, sinagoga, dan sumur. Keempat, latar waktu/temporal berupa momen-momen waktu seperti malam, segera, Kerajaan Allah sudah dekat dan hari Sabat. Kelima, latar sosio-religius berupa momen-momen perayaan seperti perjamuan makan bersama, hari Sabat dan hari raya Paskah.
Hari III
Webinar dalam rangka merayakan Pekan Sabda Allah ditutup pada hari III. Pada hari III ini, diskusi dibuka dengan sharing pengalaman beberapa misionaris perihal kehidupan dan kedekatan mereka dengan Kitab Suci serta langkah-langkah praktis mereka dalam mempersiapkan renungan singkat yang inspirasinya berangkat dari Kitab Suci. Mereka yang membagikan pengalamannya adalah Sr. Fiden Muda, MC, Sr. Ucha Henakin, RMI, Sr. Lenni, RMI, dan Br. Hieron Ngampu, CMF.
Kemudian, diskusi berlanjut pada pemaparan materi dari P. Dr. Valens Agino, CMF dengan judul “Metode dan Pendekatan-Pendekatan: Untuk Memahami, Menghayati, Melayani Sabda Allah demi Mengenal, Mencintai, Melayani dan Memuliakan Allah Tritunggal Mahakudus”.
Dalam pemaparannya, P. Valens mengajak para peserta webinar untuk terlebih dahulu menyadari teks Kitab Suci sebagai Sabda Allah, menyadari identitas karismatis Claretian adalah pendengar dan pelayan Sabda Allah, menyadari bahwa St. Antonius Maria Claret menjadikan Sabda Allah sebagai inspirasi, cara dan isi pelayanan misionernya, dan menyadari bahwa para Claretian diajak untuk mewariskan identitas dan karya karismatis yang sama kepada dunia.
Dengan kesadaran tersebut, bagi P. Valens, seorang Claretian diharapkan semakin mendekatkan diri pada Kitab Suci dan bereksegese secara sederhana untuk menemukan makna dari teks yang ada, sehingga menggapai tujuan, yakni mengenal, mencintai, melayani dan memuliakan Tuhan.
Webinar yang dilaksanakan secara online ini dihadiri oleh Claretian Family, yakni CMF, RMI, dan MC. Para peserta yang hadir tidak hanya diikuti oleh para Claretian yang bermisi di Indonesia, tetapi juga di Timor Leste, Filipina, Australia dan Jerman.
Lasiana, Kupang. Komunitas Seminari Hati Maria (SHM) kembali mengadakan kursus untuk para frater. Kali ini, materi kursusnya adalah membahas tokoh-tokoh seputar teologi. Dalam kursus yang diadakan pada 12-13 Januari 2023 di Aula SHM itu, komunitas membahas dua tokoh penting abad ini, yakni Joseph Alois Ratzinger dan Jon Sobrino.
Kedua teolog ini dibahas oleh para teologan tingkat V dan VI komunitas SHM. Teolog Joseph Ratzinger dibahas oleh Frs. Jondry Siki, Tony Wea dan Edward Ghabo, CMFF, sedangkan teolog Jon Sobrino dibahas oleh Frs. Ebith Lonek, Vicente Siki, dan Mario Putra, CMFF.
Dalam pembahasan mengenai Joseph Ratzinger atau yang dikenal sebagai Paus Benediktus XVI, para frater mempresentasikan biografi hidup dan beberapa pokok pikiran dari Paus asal Jerman ini. Sebagai seorang penjaga pintu iman, Joseph Ratzinger sangat berpegang teguh pada prinsip untuk menjaga kemurnian ajaran iman Kristiani. Untuk itulah maka, sebelum menjabat sebagai paus, Joseph Ratzinger terpilih sebagai pemimpin Kongregasi untuk Ajaran Iman dan mendapat julukan sebagai “Anjing Pelacak”.
Salah satu hal menarik dari sosok Joseph Ratzinger yang barus saja berpulang kepada Allah Bapa di surga pada 31 Desember 2022 ini adalah selain sebagai seorang pekerja keras yang tekun menjaga kemurnian ajaran iman Kristiani, beliau juga terkenal sebagai seorang yang menyukai keheningan. Gaya hidup inilah yang mengantar Joseph Ratzinger untuk mengambil nama ‘Benediktus’ sebagai nama regnal-nya. Santo Benediktus inilah yang terkenal dengan semboyan “Ora et Labora”.
Para teologan juga mempresentasikan sosok teolog lain, yakni Jon Sobrino. Kristolog kelahiran Basque, Spanyol, ini merupakan seorang pemikir teologi pembebasan yang sangat menaruh perhatiannya pada realitas hidup orang El Salvador. Jon Sobrino sendiri terkenal dengan pemikirannya tentang orang-orang yang tersalib (el pueblo crucificado).
Teologi pembebasan menjadi salah satu gerakan paling signifikan dalam teologi Kristen. Selama beberapa dekade, teologi pembebasan mendominasi cakrawala intelektual para teolog di Universitas dan Seminari di seluruh dunia. Teologi pembebasan muncul di Amerika Latin, di mana pengalaman penindasan, kemiskinan, kerentanan atau marginalisasi memicu refleksi berkelanjutan pada tradisi kristen. Perhatian terhadap kesejahteraan dan keselamatan manusia (thesalvation andhuman well-being) dan misi Gereja untuk memerdekakan manusia merangkul para teolog untuk mengejawantakan komitmen praktis-teologis kekristenan.
Dalam presentasi, para teologan menuturkan bahwa alur pikiran teologis Jon Sobrino berangkat dari realitas penindasan yang dialami oleh orang-orang El Salvador. Dari situasi tersebut, Sobrino lalu menggunakan teks Hamba Yahwe yang menderita yang tertera dalam Kitab Yesaya. Sobrino juga menghubungkan Hamba Yahwe sebagai sosok Yesus Kristus. Alur berpikir inilah yang kemudian melahirkan pernyataan bahwa masyarakat El Salvador sebagai masyarakat tersalib.
Para teologan juga mengatakan Sobrino juga menggunakan teks Matius 25 tentang penghakiman terakhir. Teks tersebut kemudian yang menjadi inspirasi bagi Sobrino untuk mengatakan bahwa di luar orang miskin tidak ada keselamatan. Para teologan berpesan bahwa teologi pembebasan memungkinkan kita untuk menaruh perhatian pada dunia yang penuh penderitaan, kemiskinan, tragedi dan ketidakadilan. Sebab pada hakekatnya, kita hadir untuk orang miskin dan turut membantu mereka keluar dari penderitaan dan menggapai keselamatan. (Laporan Ecko Setiawan, CMF)
Condong Catur, Sleman. Pada Senin, 9 Januari 2023 pukul 18.00 WIB- 19.00 WIB, Komunitas Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta (WSCY) mengadakan doa Taize online bersama keluarga Claretian. Keluarga Claretian yang dimaksud adalah keluarga besar para frater, kerabat dan mahasiswa rantau. Doa ini dipimpin oleh Fr. Adrianus Musu Sili, CMF dengan tema: “Mimpi Bersama Keluarga Kudus Nazaret”. Kegiatan ini merupakan bentuk aktualisasi dari proyek komunitas WSCY impian 1 dalam tekad ke-3: “Melakukan Ibadat Taize Komunitas dan juga bersama umat”.
Dalam Taize tersebut, inspirasi renungan berasal dari Injil Matius 2:13-15 tentang “Penyingkiran ke Mesir”. Dalam renungannya, Fr. Adris, CMF menegaskan bahwa “Yusuf mendapat perintah dari Allah untuk membawa Yesus dan Maria keluar dari Israel menuju mesir karena ada persoalan. Tak banyak bicara ataupun kompromi, mereka langsung menanggapi perintah Allah tersebut dengan hati pasrah namun penuh kepercayaan menuju mesir. Jika kita melihat sepintas tentang alasan dari perintah ini, maka kita menemukan bahwa Yusuf dan Maria pergi ke mesir untuk mengamankan Yesus dari ancaman Herodes. Akan tetapi, poin dari perintah itu bukan hanya sebatas pergi dan aman, melainkan lebih dari itu adalah penggenapan Firman Allah. di mana Allah mengatakan, ‘dari Mesir Kupanggil Anak-Ku’”.
“Bagi saya, itu adalah mimpi utama dari keluarga kudus Nazaret yang mana menjaga dan membantu Yesus Kristus untuk menjalankan karya keselamatan Allah. Kita tentu tahu bahwa mimpi Yusuf bertemu dengan malaikat berbeda dengan Yusuf dan Maria mengimpikan keluarganya yang siap menyukseskan karya keselamatan dari Yesus Kristus. Alasannya adalah mimpi Yusuf bertemu dengan malaikat itu sebagai cara Allah menyapa manusia sedangkan mimpi Yusuf dan Maria untuk menjaga dan membantu Yesus Kristus adalah tanggapan manusiawi untuk Allah atau tanggapan iman mereka. Selain itu, mereka juga sadar bahwa Allah telah hadir dalam rupa manusia di tengah-tengah mereka. Gambaran umumnya adalah hidup dalam naungan Allah maka semua persoalan akan ada jalan keluarnya. Selayaknya, mimpi keluarga kita sama dengan Keluarga Kudus Nazaret yakni hidup dalam naungan Tuhan. Kita mesti menanggapi saapan Allah dengan tindakan kasih dalam keluarga”, tegas Fr. Adris, CMF dalam renunganya.
Setelah doa ini ada sapaan hangat dari P. Damasus Sumardi, CMF sebagai Rektor Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan saling sapa satu sama lain. Kegiatan ini dibuat untuk meningkatkan rasa persaudaraan anggota komunitas WSCY dengan keluarga, umat dan kaum muda. (Laporan R. Maryono Paing, CMF)
Condong Catur, Sleman. Komunitas Wisma Skolastikat Claretian mengadakan “Seminar dan Diskusi Interdisipliner dengan Kaum Muda” pada Minggu (8/1/2023). Kegiatan ini merupakan aktualisasi Impian ke-4 dalam Proyek Komunitas WSCY tentang “Kerasulan Kaum Muda dan Promosi Panggilan”, terutama yang tertuang dalam tekad ke-3 yakni “mengadakan diskusi akademik dengan kaum muda”. Sasaran dari kegiatan ini adalah para mahasiswa yang berasal dari luar Jawa atau mahasiswa rantau.
Kemunculan seminar dan diksusi interdisipliner ini berangkat dari sebuah keprihatinan melihat berbagai fenomena mahasiswa rantau yang tidak memaksimalkan kemampuan mereka di bangku perkuliahan. Mahasiswa rantau biasanya mendapat masalah tertentu yang muncul di awal perkuliahannya karena harus beradaptasi dengan kebudayaan yang baru, sistem pendidikan yang baru dan lingkungan sosial yang baru. Hal ini kemudian muncul shifting mentality dari mahasiswa rantau. Kalau kita menelisik lebih dalam sebenarnya mahasiswa rantau memiliki prestasi akademik yang baik di bangku SMA. Bahkan sebagian dari mereka adalah mahasiswa yang mendapatkan beasiswa presetasi tertentu.
Seminar dan diskusi interdisipliner ini mengambil tema Kepemimpinan Diri. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Fr. Yovendi Mali Koli, CMF, dan P. Metodius Manek, CMF, S.S., M.M bertindak sebagai pemateri seminar.
Dalam materinya yang berjudul “Personal Branding sebagai Strategi Manajemen Diri”, P. Todi, CMF mengatakan bahwa personal brand bersifat itu imperatif karena berbagai alasan. Pertama, hal ini membedakan seseorang dari orang lain, terutama saingannya; reputasinya merepresentasikan sebuah keunggulan yang membedakannya dari orang lain. Personal brand membantu orang mengembangkan visibilitasnya, juga sekaligus menampakkan aspek-aspek tertentu yang dimilikinya.
Kedua, personal brand menjadi penanda bagi seseorang sebagai ahli pada bidang yang digelutinya. Sebuah brand yang sukses mempromosikan seseorang sebagai yang terbaik, bukan hanya karena menjadi solusi bagi sebuah persoalan, melainkan juga karena tampil sebagai pilihan terbaik.
P. Todi, CMF juga menekankan bahwa keberadaan media sosial yang masih seperti sekarang ini merupakan instrumen terbaik dan termudah untuk membangun identitas pribadi (personal identity), memelihara reputasi dan menjadi terlihat dalam industri tertentu. Gambaran diri yang muncul lewat media sosial ini bisa berupa identitas sosial (social identity) dan bisa berupa identitas personal (personal identity). Menurut P. Todi, CMF, untuk membangun personal branding lebih terkait kepada bagaimana membangun personal identity ketimbang membangun social identity.
Selanjutnya, P. Todi, CMF memaparkan perihal bagaimana membangun personal identity. Baginya, personal identity itu memiliki tiga dimensi, yakni self-esteem, self-efficacy, dan self-monitoring.
“Personal identity terdiri dari tiga dimensi, yaitu pertama, self-esteem; seseorang merasa penampilan luar yang berharga, selalu bangga dengan diri sendiri dan sadar akan segala sesuatu yang lebih dalam dirinya. Kedua, self-efficacy; seseorang bisa melakukan apapun, mempunyai semangat belajar otodidak dan cepat move on. Ketiga, self-monitoring; seseorang bisa mengatasi persoalan apapun yang dihadapinya, mempunyai semangat bunglon-cepat beradaptasi dengan situasi dan konteks tertentu”, jelasnya.
Setelah mempresentasikan materinya, P. Todi, CMF menyampaikan beberapa pertanyaan penting kepada peserta yang hadir untuk didiskusikan dalam kelompok dan dipresentasikan. Diskusi dan presentasi kelompok merupakan feedback atas materi yang telah disampampaikan sekaligus menjadi tempat bagi para peserta untuk membagikan pengalaman pribadi mereka perihal pengembangan diri mereka di tanah rantau.
Kegiatan ini berlangsung di Komunitas Wisma Skolastikat Claretian, Jogjakarta dan dihadiri oleh 40 mahasiswa rantau. Seminar dan diskusi ini berlangsung selama 3 jam (pukul 16.30-19.30 WIB).
Melata, Kalimantan Tengah. Pada Hari Raya Penampakan Tuhan dan Hari Minggu Misioner Sedunia, Minggu (8/1/2023), Komunitas Paroki Mater Dei Melata mengadakan pelantikan dan serah terima jabatan pastor paroki dan pengukuhan pastor rekan dan dewan pastoral periode 2023-2025. Misa yang penuh rahmat itu dipimpin oleh P. Pankratius Rehi Kandelu, CMF.
Peristiwa berahmat tersebut merupakan penyerahan jabatan pastor paroki dari P. Pankratius Rehi Kandelu, CMF, selaku pastor paroki yang lama, kepada P. Jeffryanus Ulu, CMF, selaku pastor paroki yang baru. Penyerahan serah terima jabatan tersebut disaksikan oleh P. Yohanes Maharsono, MSF (Sekretaris Keuskupan Palangka Raya), P. Eugenius Paul Madoni, CMF (Perwakilan Dewan Delegasi Indonesia-Timor Leste), P. Aleksius Kedi, CMF, P. Edvan Andreas Ru’u, CMF, dan segenap umat yang hadir.
Upacara Pelantikan dan Serah Terima Jabatan Pastor Paroki diawali dengan Pembacaan Surat Keputusan tentang Pembebastugasan Pastor Paroki Lama dan Pengangkatan Pastor Paroki Baru oleh P. Yohanes Maharsono, MSF sebagai Perwakilan Pimpinan Keuskupan Palangka Raya, yang dilanjutkan dengan pernyataan kesediaan dan janji dari Pastor Paroki baru, pengucapan doa dan pelantikan P. Jefry, CMF sebagai Pastor Paroki baru, perayaan simbolis serah terima jabatan dan berkas-berkas paroki oleh P. Pankras, CMF kepada P. Jefry, CMF, dan pembacaan Berita Acara Pelantikan dan Serah Terima Jabatan. Setelah itu, ada pula Upacara Pengukuhan Pastor Rekan P. Alexius Kedi, CMF dan P. Edvan Andreas Ru’u CMF serta Pengukuhan Dewan Pastoral Paroki Mater Dei Melata periode 2023-2025.
Dalam sambutan, P. Doni, CMF dan P. Yohanes, MSF sama-sama mengucapkan rasa terima kasih kepada P. Pankras, CMF yang telah mengabdikan diri dalam di Paroki Mater Dei Melata, sembari mendoakan yang terbaik untuk P. Pankras, CMF di tempat misi yang baru. Keduanya juga mengucapkan profisiat kepada P. Jefry, CMF yang telah memberi diri untuk memimpin umat Allah di Paroki Mater Dei Melata. Tak lupa pula, P. Doni, CMF mengingatkan para misionaris yang berkarya di Paroki Mater Dei Melata untuk senantiasa mengakarkan diri pada Allah dan berani keluar untuk bermisi di tengah umat.
Perayaan tersebut ditutup dengan acara ramah tamah dan perpisahan dengan P. Pankras yang dirangkai dalam adat Dayak, yakni Koba Tongan.