Kisah Pengalaman Misi P. Eusabius Toda, CMF di Madagaskar
Ankarana, Madagaskar. Kamis, 27 April 2023 merupakan hari yang bersejarah bagi Kongregasi Para Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria dan Para Suster Maria Imakulata Misionaris Claretian. Pada hari tersebut, diadakan acara penyerahan misi baru bagi para misionaris Claretian di Distrik Ankarana Keuskupan Farafangan, Madagaskar oleh Bapa Uskup Mgr. Gaetano Del Piero. Acara resmi tersebut menandai dimulainya lembaran baru misi Claretian di Madagaskar, negara ke-70 bagi para Claretian untuk misi pelayanan Sabda Allah.
Acara ini diawali dengan penjemputan para Misionaris Claretian (CMF dan RMI) di pastoran oleh Bapa Uskup dan umat. Upacara ini merupakan ungkapan bahwa mereka dengan senang hati menerima para misionaris Claretian, untuk berjalan, menemani serta berkarya di tempat mereka dan bersama mereka.
Rangkaian acara dibuat secara sederhana tapi penuh makna. Mulai dari penjemputan di pastoran, upacara penerimaan di depan Gereja, lonceng Gereja dibunyikan oleh pastor paroki yang baru sebagai simbol memanggil umat Allah datang ke Gereja untuk berdoa. Penyerahan kunci Gereja kepada pastor paroki yang baru dan penyembahan Sakramen Mahakudus sebagai simbol bahwa Ekaristi sebagai puncak dan pusat dari pelayanan. Pastor paroki bersama Bapa Uskup memegang tongkat uskup sebagai simbol bahwa Bapa Uskup membagi reksa pastoral dalam penggembalaan umat di distrik Ankarana. Setelah itu, pastor paroki dipersilakan untuk duduk di kursi Bapa Uskup agar umat datang mengulurkan tangan dihadapannya sebagai lambang bahwa mereka siap bekerja sama dan taat kepada pastor paroki.
Hidup yang Serba Berkekurangan: Gereja, Pendidikan, Kesehatan
Distrik Ankarana letaknya cukup dekat dari keuskupan. Perjalanan tersebut dapat ditempuh dengan mobil kurang lebih selama 3 jam. Sedangkan ke ibu kota Madagaskar yakni kota Antananarivo, perjalanannya memakan waktu sekitar 25 jam dengan taksi bus.
Paroki yang kami layani di distrik Ankarana memiliki 15 Stasi. Jarak dari distrik Ankarana ke stasi-stasi tersebut cukup jauh. Selain jauh, medannya juga sangat menantang. Jika musim hujan tiba maka akses ke stasi hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ada juga ketika berkunjung ke stasi, seorang misionaris harus menggunakan perahu untuk menyeberang. Sudah sekian lama ada beberapa stasi di distrik Ankarana tidak dikunjungi oleh pastor. Mereka rindu untuk merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Itu berarti mereka membutuhkan pelayan tertahbis agar bisa bertemu dengan Yesus yang sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus.
P. Eus Toda, CMF saat mengadakan pelayanan di salah satu stasi
Di tengah kerinduan akan perayaan Ekaristi, muncul kebijakan yang sangat baik dari pihak paroki untuk melibatkan awam dalam kegiatan pastoral. Kendati belum ada jadwal kunjungan dari pastor, umat di stasi-stasi masih menggunakan sarana yang mungkin untuk bisa bertemu Tuhan. Di stasi-stasi sudah ada para katekis yang selalu siap sedia melayani dan mengerjakan kegiatan-kegiatan pastoral dari paroki. Katekis-katekis ini membantu dalam pelayanan ibadat di stasi setiap hari Minggu dan pelayanan ibadat lainnya.
Untuk menjadi pelayan dalam Gereja, para katekis dipilih dan juga dipersiapkan secara khusus melalui formasi di keuskupan. Mereka pada umumnya memiliki latar belakang kehidupan yang sederhana dengan pendidikan seadanya. Tetapi satu hal yang menarik adalah mereka sungguh-sungguh memberi diri dalam pelayanan. Mereka tidak memperhitungkan tentang pengorbanan. Setiap bulan selalu ada jadwal pertemuan katekis di distrik Ankarana. Maka semua katekis akan datang dari stasi-stasi. Walaupun harus menempuh jarak yang cukup jauh – bahkan tak punya alas kaki – tapi semangat untuk terus melangkah dan hadir mengikuti pertemuan dan formasi bulanan tidaklah padam. Sungguh luar biasa jika sebuah pelayanan dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh rasa tanggung jawab yang besar. Semuanya itu tentunya demi kemuliaan Allah dan keselamatan umat manusia!
Umumnya, umat melangsungkan ibadat di rumah umat atau di bawah tenda darurat yang amat sederhana. Namun, mereka tidak memiliki satu gedung kapela permanen karena gedung kapela yang rusak karena tertimpa badai siklon Freddy. Setiap tahun selalu ada siklon Freddy yang memporak-porandakan rumah, pohon, hingga kapela. Kendati begitu, biarpun barang-barang kami hancur tertimpa badai yang dahsyat, kami justru bersyukur karena badai tersebut membawa hujan sehingga kami bisa mendapat air. Maklum, hidup hanya bergantung pada alam: jika hujan maka ada air, jika tidak maka kekurangan air.
Gereja paroki tempat kami bermisi pun juga mengalami banyak kekurangan. Barang-barang liturgi di paroki maupun stasi belum tersedia lengkap seperti kain altar, kasula, stola, piala, dan sebagainya. Begitupun dengan struktur kepengurusan entah itu di paroki maupun di stasi. Hal ini merupakan pekerjaan tahap awal bagi kami untuk membenahi struktur kepengurusan dalam paroki dan stasi-stasi. Apalagi pemahaman mereka tentang liturgi juga masih sangat kurang.
Mata pencaharian umat di sini adalah petani dan peternak sapi. Mereka umumnya memiliki kebun sendiri, tetapi ada yang tidak. Mereka yang tidak memiliki kebun sendiri akan membangun kerjasama dengan pemilik tanah lalu hasilnya dibagi dua. Musim untuk berkebun dimulai pada bulan Desember hingga pada bulan April. Bulan-bulan ini merupakan musim hujan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka akan membuka kebun dan mulai menanam padi, jagung, dan tanaman lain yang bisa dijadikan makanan pokok. Dengan situasi ini, banyak dari orang-orang Madagaskar yang masih bekerja demi memperoleh makanan sehari. Mendapat makanan sehari saja sudah menjadi rahmat yang besar dalam hidup.
Realitas anak-anak di Distrik Ankarana
Seperti halnya di Indonesia, makanan pokok di Madagaskar umumnya berupa nasi, jagung dan umbi-umbian. Untuk makanan sangat aman bagi para misionaris yang berasal dari Indonesia. Karena sama-sama menyantap nasi, jagung umbi-umbian. Jadi, untuk adaptasi makanan di Madagaskar bukanlah suatu ujian yang berat. Para misionaris dari Indonesia ketika melihat makanan yang ada di Madagaskar merasa bahwa mereka hanya berpindah saja tempat dari Indonesia ke Madagaskar.
Pendidikan anak-anak di distrik Ankarana masih sangat terbelakang. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang mampu, memiliki peluang yang sangat besar untuk mengenyam pendidikan. Sedangkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, kesulitan untuk sekadar bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Hal ini memang tidak lepas dari realitas hidup keluarga-keluarga. Di Madagaskar sangat kentara adanya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya akan tetap menjadi kaya sedangkan orang miskin terus berada dalam garis kemiskinan. Untuk itu, demi bisa menunjang kehidupan pendidikan dari anak-anak, ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk membantu di paroki. Dengan demikian ada sedikit uang yang bisa membantu mereka melanjutkan pendidikan. Mereka memiliki semangat tetapi terhalang oleh biaya.
P. Eus Toda, CMF foto bersama anak-anak
Kadangkala kedengarannya agak lucu soal sekolah. Sekolah tergantung pada guru. Jika guru ada maka kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Tetapi jika guru tidak masuk maka sekolah akan libur. Meski situasi ini mengundang sedikit gelak tawa, masih banyak anak-anak yang punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan.
Distrik Ankarana juga memiliki sebuah rumah sakit yang dibangun oleh pemerintah. Keadaan rumah sakit ini juga sangat sederhana. Walaupun sederhana tapi orang tetap untuk berobat karena memang tidak ada pilihan lain lagi untuk tetap sehat. Seperti di banyak tempat yang lain, distrik Ankarana memiliki banyak jenis penyakit. Ada malaria, ada TBC, dan penyakit menular lainnya. Untuk penyakit malaria dan TBC, masyarakat memperoleh obat gratis dari pemerintah. Yang menarik di sini adalah ketika ada misionaris yang terjangkit penyakit malaria. Akan ada komentar unik bermunculan yang mengatakan, “Inilah baptisan baru untuk menjadi misionaris di Afrika!”
P. Eus Toda, CMF foto bersama umat di depan kapela stasi seusai merayakan Ekaristi
Kebanyakan, ketika orang-orang mendengar dan mengetahui bahwa ada para suster yang berkarya di distrik Ankarana maka mereka meluangkan waktu untuk datang dan meminta obat. Setelah mendapatkan obat – dan terlebih jika mengalami kesembuhan – kabar baik itu pun dengan cepat menyebar ke pelosok Ankarana maupun stasi-stasi sehingga semakin banyak yang datang untuk berobat dan konsultasi tentang kesehatan. Kehadiran para suster sangat membantu di bagian pendidikan dan juga kesehatan.
Situasi serba kekurangan ini memotivasi kami untuk bermisi. Sebagai misionaris, kami siap menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkan. Siap menjadi saluran Rahmat Allah bagi sesama yang menderita dan membutuhkan sentuhan belas kasih. Doakan kami selalu.
Lasiana, Kupang. Setelah merayakan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, Gereja Katolik merayakan Pesta Hati Tak Bernoda Maria. Bagi Kongregasi Para Misionaris Claretian, pesta ini merupakan pesta identitas, sebab Kongregasi menjadikan Hati Maria sebagai spiritualitasnya.
Perayaan Ekaristi dalam rangka merayakan Pesta Hati Tak Bernoda Maria dirayakan dengan penuh semarak di Komunitas Hati Maria, pada Sabtu (17/6/2023). Tema yang diangkat dalam perayaan syukur itu adalah “Hati Maria: Kedekatan, Kelembutan, dan Belas Kasih”. Perayaan Ekaristi syukur itu dipimpin oleh P. Valens Agino, CMF.
Dalam homilinya, P. Valens Agino, CMF menuturkan bahwa pesta Hati Maria merupakan suatu perayaan identitas. Hal ini merujuk pada spiritualitas Kongregasi yang menjadikan Hati Maria spirit bagi para misionaris dalam bermisi.
“Kita sedang merayakan identitas kita. Kita sedang merayakan siapa kita”, kata P. Valens.
Identitas sebagai “Putra Hati Maria” tidak muncul secara tiba-tiba dalam Kongregasi. Identitas ini lahir dan tumbuh dalam kehidupan pribadi P. Claret. Dalam hidupnya, P. Claret sungguh-sunguh dekat dengan Bunda Maria. Dengan relasi yang intim, P. Claret yakin bahwa dirinya adalah seorang Putra yang lahir dari Hati Bunda Maria.
P. Valens menambahkan bahwa identitas sebagai Hati Maria tidak lahir oleh karena pekerjaan tangan manusia, tetapi lahir oleh karena bantuan Roh Kudus. Dengan inspirasi Roh Kudus, para misionaris Claretian menjadi pelayan Sabda yang berkarisma dan siap untuk melayani sesama.
“Hati ini dibentuk bukan oleh manusia, tetapi oleh Roh, sebagaimana hati Bunda Maria”, tandasnya.
Bagi para Claretian, Hati Maria bukan sekadar gelar tambahan bagi Perawan Maria. Hati Maria adalah gambaran seluruh pribadi Maria dan merupakan suatu bagian terpenting untuk menegaskan keseluruhan kedalaman batin Sang Perawan, cinta keibuannya, dan sikapnya dalam hubungan dengan Yesus dan para misionarisnya. Di dalam hatinya seorang Claretian menemukan kedekatan, kelemahlembutan dan belaskasihan.
Hati Maria merupakan keistimewaan spiritualitas dan kerasulan para Misionaris Claretian. Hati Maria adalah sumber cinta kepada Allah dan sesama. Dalam tanur hati Maria seorang Claretian dibentuk menjadi seorang misionaris berkarisma sebagai pendengar dan pelayan Sabda, yang memiliki rasa tergerak hati, rasa kesiapsediaan dan rasa kekatolikan, untuk diutus ke mana saja Gereja dan Kongregasi membutuhkan.
Bertepatan dengan perayaan hari ini, Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste menutup Tahun Hati Maria. Selama setahun terakhir, para Claretian diajak untuk mendalami kembali dan menghidupi spiritualitas Hati Maria, sehingga dalam melaksanakan misi, seorang Claretian akan selalu bermisi dengan hati, agar setiap orang yang dilayani dapat semakin mengenal, mencintai, melayani dan memuliakan Tuhan.
Selain itu, dalam semarak Pesta Hati Tak Bernoda Maria, Komunitas Seminari Hati Maria (SHM) merayakan ulang tahunnya yang ke-20 (2003-2023). Semenjak kelahirannya di Kupang, Komunitas SHM telah melahirkan begitu banyak misionaris yang handal dan siap diutus. Dengan mengambil nama “Hati Maria” sebagai nama komunitas, Komunitas SHM telah menjadikan dirinya sebagai saksi sukacita Injili dalam berbagai bentuk pelayanan, seperti pelayanan sakramental, kerasulan, dan berbagai bentuk misi lainnya.
Perayaan Ekaristi Pesta Hati Tak Bernoda Maria dan Perayaan Syukur ulang tahun komunitas SHM menandai dilantiknya delapan misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria menjadi lektor dan akolit. Pelantikan ini menjadi tanda bahwa mereka segera dan siap dilahirkan untuk membantu pelayanan dalam kegiatan liturgi Gerejani. Pelayanan mereka dalam liturgi Gereja akan menjadi nyanyian syukur yang indah bagi semua orang yang akan mereka layani.
Delapan misionaris yang dilantik oleh P. Valens Agino, CMF menjadi lektor dan akolit adalah Frs. Adolfo Martins de Deus, Armandino Atiyos da Costa, Arsensius Roiman Baruk, Ferdinandus Naibobe, Patrianus Densi Dewa Panggo, Stanislaus Erson, Theofilus Antonius Gela, dan Yanuarius Asan Berek, CMFF.
Novena yang dikirim oleh Dewan General untuk permenungan Hati Maria tahun ini berjudul “Hati Maria dan Hidup dalam sinodalitas“. Sebagai putra-putra Hati Tak Bernoda Maria, kita menemukan inspirasi, persaudaraan, dan bantuan dalam Bunda kita untuk menempuh jalan komunio, partisipasi, dan misi gerejani ini.
Saya mengundang saudara sekalian untuk merenungkan Maria yang, bersama Yusuf, berjalan bersama Yesus pada ziarah pertamanya ke Yerusalem ketika dia beranjak remaja (bdk. Luk 2:42-52). Selama bagian pertama perjalanan, mereka berjalan dengan sukacita sebagai satu keluarga naik ke Gunung Suci untuk merayakan Paskah. Sebaliknya, perjalanan pulang ditempuh dengan amat sedih karena mereka tidak menemukan Yesus di tengah para peziarah lainnya. Kegembiraan bertemu dengan putranya berubah menjadi kebingungan karena tanggapanNya. Mereka gagal memahami pesan Yesus, yang sedang berbicara tentang [unsur] keputraan yang berpusat pada identitasNya dan fokus pada seluruh pengabdianNya. Sungguh mengejutkan bahwa penginjil mengakhiri ceritanya dengan mengatakan: “IbuNya menyimpan semua itu di dalam hatinya” (ayat 51).
Pada Kapitel Umum yang terakhir, kita menyadari bahwa impian Allah bagi kita adalah agar kita menjadi “Kongregasi peziarah, berakar dalam Kristus…” (QC 44) Seperti halnya Keluarga Kudus, peziarahan kita terjalin dengan suka, duka, dan kebingungan; kita juga kerapkali kesulitan untuk memahami pesan Yesus yang sepenuhnya selaras dengan gaya dan rencanaNya. Di koridor ini, kita berisiko terjebak dalam pusaran emosi atau kebingungan, [jika] tanpa melangkah (atau berpikir) lebih jauh. Sebagai putra-putra Hati Maria, kita dipanggil untuk hidup di kedalaman batin kita, merenungkan peristiwa-peristiwa kehidupan dalam doa, dan membiarkan diri kita diterangi oleh kebaruan Injil, yang membebaskan kita, menyelaraskan kita dan mengutus kita ke dalam sebuah misi.
Teks Kitab Suci yang sedang kita renungkan adalah salah satu teks yang paling memengaruhi Bapa Pendiri kita ketika dia masih belajar di Seminari Vic; dia merasakan panggilan Tuhan untuk meninggalkan negerinya dan mewartakan Injil sebagai seorang misionaris. Ketika kita merenungkan Sabda di dalam hati kita, seperti Maria dan Claret, kita pasti mengalami kekuatan transformatifnya, yang mengguncang kita dari segala keterikatan duniawi dan mengirim kita untuk mewartakannya dengan penuh semangat ke seluruh dunia. “Kita bermimpi bersama Claret dari sebuah Kongregasi yang, mengikuti teladan Maria, menyimpan di dalam hatinya, memenuhi dan mewartakan Sabda Allah ” (QC 51).
Dalam keramahan Maria, kita menemukan gaya khas untuk peziarahan kita di sepanjang jalan sinodalitas. Kita dipanggil untuk memperkaya komunio dan misi Gereja dengan semangat misionaris Hati Maria kita. Untuk itu, kita berupaya membangun komunitas persaudaraan yang hidup dalam keramahtamahan, kedekatan, dan pelayanan. Dari persaudaraan yang tinggal di rumah kita ini, kita dapat menawarkan kepada dunia kita, yang begitu terluka oleh kemiskinan, ketidakadilan, dan perang, kata-kata dan gerak tubuh (baca: tindakan) yang memaklumkan sukacita Injil, menjalin ikatan persahabatan, dan memperlihatkan kehadiran Kerajaan Allah.
Lasiana, Kupang. Sesuai dengan Surat Keputusan dari Delegasi, para fratres Tahun Orientasi Misi (TOM) menyelesaikan masa prakteknya pada tanggal 10 Juni. Setelah menjalani masa Tahun Oritentasi Misi di tempat misi yang ditangani para Claretian, para frater TOM berkumpul di Kupang untuk mengadakan pertemuan dan evaluasi seputar menjalani masa TOM.
Pertemuan dan evaluasi ini membahas tentang situasi hidup di tempat misi, pelayanan dan yang telah dilaksanakan oleh para fratres, kehidupan berkomunitas, dan sebagainya. Pertemuan dan evaluasi ini dikemas dalam bentuk presentasi dan sharing yang saling membangun. Pertemuan dan evaluasi ini sangat berguna bagi perkembangan hidup misioner dari para fratres dan bagi komunitas tempat para fratres menjalani masa TOM.
Para fratres yang baru saja menyelesaikan masa TOM dan ikut dalam pertemuan dan evaluasi adalah Frs. Rego, Andre Seran, Karol Guru, Paskal Tiwu, Erik Bheo, Theo Woi, Dius Tahu, Falen Nderi, Ceis Amaral, Domi Lanang, dan Ram Busa, CMFF.
Pertemuan dan evaluasi para fratres ini dilaksanakan di Komunitas Claretian House, Kupang, pada 12-14 Juni 2023. Mereka didampingi oleh P. Valens Agino, CMF; P. Yohanes Darisalib Jeramu, CMF, dan P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF. Selain itu, pertemuan ini juga dihadiri secara online oleh beberapa pater formator dari beberapa komunitas.
Persiapan Pelantikan Lektor Akolit
Selain itu, para fratres tingkat IV SHM juga mengadakan pertemuan. Pertemuan yang dibuat adalah persiapan untuk pelantikan lektor dan akolit. Pertemuan ini diadakan di Aula SHM, pada 13-15 Juni 2023.
Para fratres tingkat IV didampingi oleh para formator yang ada di Komunitas SHM. Dalam pertemuan ini, para pemateri memberikan pemahaman tentang tugas dan pelayanan seorang lektor dan akolit dalam liturgi Gereja. Adapun juga para fratres diingatkan untuk mencontohi Yesus Kristus, Sang Guru dan teladan ihwal menjadi pelayan yang setia.
Adapun juga materi yang disampaikan kepada para calon lektor dan akolit adalah tentang pelayanan yang dibicarakan oleh dokumen Gereja, seperti Motu Proprio Ministeria Quedam, dan pembahasan tentang lektor-akolit dari perspektif Claretian yang dapat ditemukan dalam Konstitus, Autobiografi Claret dan General Plan of Formation (GPF).
Para fratres tingkat IV yang akan dilantik menjadi lektor dan akolit berjumlah delapan orang. Mereka adalah Frs. Ado de Deus, Arman da Costa, Roy Baruk, Ferdi Naibobe, Dewa Panggo, Tan Erson, Rinto Gela, dan Yandre Berek, CMFF.
Kupang, Indonesia. Pada Rabu (31/5/2023), Uskup Keuskupan Agung Kupang Mgr. Petrus Turang menahbiskan 24 frater menjadi diakon di Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael, Kupang. Para diakon tersebut berasal dari Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Atambua, Keuskupan Weetebula, Kongregasi Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria, dan Ordo Skolapios. Untuk Kongregasi kita, terdapat 5 frater yang ditahbikan menjadi diakon.
Dalam homilinya, Mgr. Petrus mengajak para diakon untuk mengingat panggilan mereka sebagai seorang pemimpin yang bersedia untuk melayani. Panggilan untuk menjadi pelayan Tuhan ini merupakan anugerah dari Allah kepada para diakon agar senantiasa melayani semua orang, terutama melayani mereka yang membutuhkan bantuan.
“(Anda) Menjadi pemimpin yang melayani, bukan pemimpin yang dilayani”, kata Mgr. Petrus.
Dalam pada itu, Mgr. Petrus juga mengajak para diakon untuk belajar dari Bunda Maria yang dengan rendah hati mau memberikan hatinya kepada semua orang. Sebab Bunda Maria adalah seorang penolong abadi yang senantiasa mendengarkan keluh kesah dan rintihan hati umat manusia.
“Semoga Anda, dengan meneladani Bunda Maria, selalu mempunyai hati untuk memperhatikan, memberikan hati kepada orang-orang, terutama mereka yang membutuhkan kehadiranmu pada saat mereka dalam kemendesakan. Tidak pilih-pilih!”, tegas Mgr. Petrus.
Lima Misionaris Claretian yang menyerahkan diri untuk menerima rahmat tahbisan adalah Dominikus Evenroy Gultom, CMF; Emilianus Dungnga Koten, CMF; Engelbertus Seran, CMF; João Martinho Enfein, CMF; dan Ponsianus Ladung, CMF.
Para diakon baru dari Kongregasi Para Misionaris Claretian akan menjalani masa praktek diakonat di komunitas-komunitas Claretian yang ada di Indonesia dan Timor Leste. Selamat bertugas para diakon Claretian.