Condong Catur, Sleman. Komunitas Wisma Skolastikat Claretian mengadakan “Seminar dan Diskusi Interdisipliner dengan Kaum Muda” pada Minggu (8/1/2023). Kegiatan ini merupakan aktualisasi Impian ke-4 dalam Proyek Komunitas WSCY tentang “Kerasulan Kaum Muda dan Promosi Panggilan”, terutama yang tertuang dalam tekad ke-3 yakni “mengadakan diskusi akademik dengan kaum muda”. Sasaran dari kegiatan ini adalah para mahasiswa yang berasal dari luar Jawa atau mahasiswa rantau.
Kemunculan seminar dan diksusi interdisipliner ini berangkat dari sebuah keprihatinan melihat berbagai fenomena mahasiswa rantau yang tidak memaksimalkan kemampuan mereka di bangku perkuliahan. Mahasiswa rantau biasanya mendapat masalah tertentu yang muncul di awal perkuliahannya karena harus beradaptasi dengan kebudayaan yang baru, sistem pendidikan yang baru dan lingkungan sosial yang baru. Hal ini kemudian muncul shifting mentality dari mahasiswa rantau. Kalau kita menelisik lebih dalam sebenarnya mahasiswa rantau memiliki prestasi akademik yang baik di bangku SMA. Bahkan sebagian dari mereka adalah mahasiswa yang mendapatkan beasiswa presetasi tertentu.
Seminar dan diskusi interdisipliner ini mengambil tema Kepemimpinan Diri. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Fr. Yovendi Mali Koli, CMF, dan P. Metodius Manek, CMF, S.S., M.M bertindak sebagai pemateri seminar.
Dalam materinya yang berjudul “Personal Branding sebagai Strategi Manajemen Diri”, P. Todi, CMF mengatakan bahwa personal brand bersifat itu imperatif karena berbagai alasan. Pertama, hal ini membedakan seseorang dari orang lain, terutama saingannya; reputasinya merepresentasikan sebuah keunggulan yang membedakannya dari orang lain. Personal brand membantu orang mengembangkan visibilitasnya, juga sekaligus menampakkan aspek-aspek tertentu yang dimilikinya.
Kedua, personal brand menjadi penanda bagi seseorang sebagai ahli pada bidang yang digelutinya. Sebuah brand yang sukses mempromosikan seseorang sebagai yang terbaik, bukan hanya karena menjadi solusi bagi sebuah persoalan, melainkan juga karena tampil sebagai pilihan terbaik.
P. Todi, CMF juga menekankan bahwa keberadaan media sosial yang masih seperti sekarang ini merupakan instrumen terbaik dan termudah untuk membangun identitas pribadi (personal identity), memelihara reputasi dan menjadi terlihat dalam industri tertentu. Gambaran diri yang muncul lewat media sosial ini bisa berupa identitas sosial (social identity) dan bisa berupa identitas personal (personal identity). Menurut P. Todi, CMF, untuk membangun personal branding lebih terkait kepada bagaimana membangun personal identity ketimbang membangun social identity.
Selanjutnya, P. Todi, CMF memaparkan perihal bagaimana membangun personal identity. Baginya, personal identity itu memiliki tiga dimensi, yakni self-esteem, self-efficacy, dan self-monitoring.
“Personal identity terdiri dari tiga dimensi, yaitu pertama, self-esteem; seseorang merasa penampilan luar yang berharga, selalu bangga dengan diri sendiri dan sadar akan segala sesuatu yang lebih dalam dirinya. Kedua, self-efficacy; seseorang bisa melakukan apapun, mempunyai semangat belajar otodidak dan cepat move on. Ketiga, self-monitoring; seseorang bisa mengatasi persoalan apapun yang dihadapinya, mempunyai semangat bunglon-cepat beradaptasi dengan situasi dan konteks tertentu”, jelasnya.
Setelah mempresentasikan materinya, P. Todi, CMF menyampaikan beberapa pertanyaan penting kepada peserta yang hadir untuk didiskusikan dalam kelompok dan dipresentasikan. Diskusi dan presentasi kelompok merupakan feedback atas materi yang telah disampampaikan sekaligus menjadi tempat bagi para peserta untuk membagikan pengalaman pribadi mereka perihal pengembangan diri mereka di tanah rantau.
Kegiatan ini berlangsung di Komunitas Wisma Skolastikat Claretian, Jogjakarta dan dihadiri oleh 40 mahasiswa rantau. Seminar dan diskusi ini berlangsung selama 3 jam (pukul 16.30-19.30 WIB).
(Laporan R. Maryono Paing, CMF)