Ab Ovo Usque Ad Mala || Misi Tanjung Balai
Tanjung Balai – Sumatera Utara – Oleh P. Agustinus Jeramu, CMF || Misionaris Tanjung Balai
Pengantar
Dalam satu kesempatan perjalanan menuju sebuah Stasi di wilayah Paroki Tanjung Balai, saya berjumpa dengan seorang Pria paruh baya yang sedang memotong rumput. Lantas, saya berhenti sejenak dan menanyakan perihal jalan menuju Stasi tersebut. Tanpa basa-basi dia pun mulai menjelaskan arah menuju tempat tujuan yang saya maksud.
Di akhir perjumpaan kami, persis sebelum saya meninggalkannya, dia berkata, “Anak muda, hidup di zaman sekarang itu susah. Kita mesti bekerja keras hanya untuk memperoleh sedikit nafkah. Kamu sendiri juga harus bekerja keras untuk memiliki kehidupan yang baik. Kamu bekerja untuk pabrik ini kan, pengawas kebun sawit ini kan…?”
Dengan sedikit senyum di bibir, saya pun berkata dengan spontan, “bukan….saya bekerja untuk Gereja. Saya bekerja untuk Tuhan…”
Berawal dari Sebuah Pesan Singkat
Semuanya berawal dari hari itu. Saya masih ingat, dua minggu sebelum saya mengikrarkan kaul kekal di bulan Oktober 2019, pagi-pagi di kota Gudeg (Yogyakarta), saya mendapat sebuah pesan singkat dari nomor pengirim yang tak asing lagi. Ujung pesan singkat itu kira-kira berbunyi, “Gusti, kamu akan ditempatkan di Paroki Tanjung Balai, Sumatera Utara”.
Masih pagi, saya langsung dikabari berita yang sejujurnya tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aneka perasaan berkemacuk dalam dada. Ada perasaan senang karena saya akan “melihat” tanah Sumatera (Utara) dan juga sedikit perasaan aneh karena saya harus berkarya di Paroki Tanjung Balai. Bukan apa-apa, hal itu muncul karena pesan ini mendadak masuk ke laman WA.
Satu kepastian yang saya tahu sejak awal, saya sebenarnya akan bertugas di sebuah Seminari di tanah Lorosa’e, Timor Leste. Namun, bak petir di siang bolong, berita pergantian tempat tugas datang begitu cepat tanpa permisi, mengubah segala imajinasi saya tentang tempat tugas selanjutnya.
Saya yang sudah menyiapkan segala perlengkapan menuju Timor Leste dan buku-buku untuk sumber literasi selama bertugas di Seminari nanti, terpaksa saya ubah dan saya ganti dengan menyiapkan perlengkapan menuju tanah Sumatera. Saya mulai mendengarkan lagu Batak, mencari dan mempelajari budaya dan bahasa Batak secara perlahan. Ada rasa kaget, but life must go on.
Terhitung sejak tanggal 3 November 2019, saya memulai masa bakti di Paroki Tanjung Balai. Nama kota ini dan apa yang pernah terjadi di dalamnya, sudah saya dengar semenjak menjalani masa studi di Yogyakarta.
Pernah suatu ketika, saya membaca sebuah berita di koran harian nasional yang mengisahkan tentang tindakan anarkis dan intoleran di kota ini. Didorong oleh kisah dan rasa penasaran, tak heran, hal pertama yang saya lakukan di tempat ini ialah mengelilingi kota waterfront Tanjung Balai.
Keberagaman ditunjukkan di sana. Agama yang beragam, tempat ibadah, suku dan bahasa. Umumnya, orang Tanjung Balai bertutur bahasa “Indo-Melayu”. Sebagai orang Timur, saya tidak terbiasa dengan ucapan mereka. “Karojo”, “golap” dan “tak pala” adalah segelintir kata yang cukup sering saya dengar di tempat ini terlepas dari apakah ini sungguh bahasa Indo-Melayu atau cara berbicara orang Sumatera Utara.
Sebagai tempat yang pernah disematkan sebagai “kota intoleran”, saya cukup merasa kaget karena kota Tanjung Balai justru tidak menampakkan wajah suram dan menyeramkan bagi keberagaman.
Sebagai orang baru (dan asing), saya justru merasa diterima di tempat ini. Interaksi berjalan baik entah dengan umat Katolik, yang terdiri atas suku Batak, Karo dan Chinese, maupun umat beragama lainnya. Orang Melayu, Batak, Chinese dan Jawa bersatu-padu membangun kota Tanjung Balai menjadi lokasi padat penduduk dan sarat aroma kapitalisme. Di mana-mana orang berbisnis, terutama perdagangan. Seorang teman yang tinggal di kota ini pernah berkisah bahwa kota Tanjung Balai juga sering disebut sebagai tempat bisnis pakaian impor yang cukup mahsyur di ujung Nusantara.
Gereja yang Hidup
Berbicara mengenai sejarah Gereja Katolik Tanjung Balai sama saja berbicara mengenai sejarah awal masuknya kekatolikan ke tanah Sumatera. Gereja ini merupakan misi awal penyebaran kekatolikan di daerah Sumatera. Sudah banyak misionaris yang mengabdi untuk umat di tempat ini. Saya sendiri merupakan orang kesekian yang bertugas di wilayah ini.
Sedari awal tiba, saya langsung menyadari bahwa misi Tanjung Balai merupakan misi yang menantang. Perjalanan yang jauh menuju Stasi dan medan yang sulit, melewati “labirin” kebun sawit, langsung “menyapa” saat pertama kali saya berpastoral ke “Lautan”. Ya…kami menyebut “Lautan” karena tempat itu berada di pesisir Laut dan bahkan kita harus menyebrang menggunakan perahu untuk dapat sampai ke Stasi-Stasi yang paling jauh dari Paroki.
Rasa lelah langsung menyergap sanubari ini. Hampir setiap akhir pekan saya berpastoral menuju “Lautan”. Beruntung bahwa saya dibekali dengan sebuah sepeda motor yang mumpuni untuk melancarkan kegiatan pastoral ke sana. Tidak beruntung karena beberapa kali saya harus jatuh dan bahkan, masih segar dalam ingatan, tercebur ke dalam kubangan lumpur yang sudah bercampur dengan aroma minyak sawit.
“Hmmm…sedap rasanya” tawa saya dalam hati ketika aroma sawit yang menempel di tubuh menusuk hidung. Meski sudah berkali-kali jatuh dan bangun lagi, saya tak jera mengadakan kunjungan dan pelayanan umat di wilayah “Lautan”. Entah roh apa yang merasuki diri ini, sehingga walaupun hujan dan petir, saya tetap memberanikan diri untuk berpastoral ke sana.
Kisah di atas belum menggambarkan sepenuhnya karya kami di Paroki Tanjung Balai. Masih ada karya dalam bidang sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Paroki Tanjung Balai memang seumpama paket komplit. Di Paroki ini, saya memperoleh pengalaman pastoral yang beraneka-ragam. Selain karya dan pelayanan sakramental, kami juga berkarya membantu para wong cilik yang sering dijumpai di sini.
Pernah ketika di masa awal kedatangan saya di tempat ini, kami turut membantu para korban kebakaran di Pajak (baca: Pasar) yang berada tak jauh dari Pastoran. Sungguh malang, beberapa umat kita menderita karena menjadi korban kebakaran tersebut. Paroki bergerak cepat dengan mendistribusikan bantuan entah berupa sembako maupun jenis bantuan lainnya.
“Harapannya hal ini bisa meringankan beban mereka”, begitu rekaman ucapan Pastor Paroki di meja makan Pastoran.
Karya kemanusiaan tidak berhenti sampai di situ. Masih ada bantuan sosial lain yang pernah dilakukan oleh Paroki. Itu terjadi kala banjir menghantam wilayah Rayon Se’i Loba di penghujung tahun 2020 lalu.
Saya tak tahan melihat banjir yang melumpuhkan daerah tersebut. Banjir membuat kondisi wilayah nyaris lumpuh dan umat merana. Paroki menanggapi situasi ini dengan mengirim bantuan berupa makanan, obat-obatan dan kayu. Kegiatan pastoral mingguan praktis ditiadakan beberapa waktu lamanya.
Kurang lengkap rasanya jika dalam tulisan ini, saya tidak menceritakan sekilas mengenai rumah pastoran Teluk Pulai dan Gedung Serbaguna Gianfranco Cruder. Dua infrastruktur ini menjadi dua sarana yang mengubah wajah Paroki saat ini (dan semoga selamanya).
Pertama, Pastoran Teluk Pulai. Gedung ini merupakan warisan para misionaris SX yang dulu berkarya di Paroki Tanjung Balai dari pertengahan 1980-an sampai 1990-an. Renovasi gedung yang peresmiannya dilaksanakan Desember 2019 kemarin menjadi titik awal intensifnya pelayanan ke wilayah Lautan.
Gedung ini bisa saya katakan menjadi salah satu alasan utama mengapa setiap akhir pekan kami “rela” berangkat menuju “Lautan”. Berkat Pastoran Teluk Pulai, kami memiliki kesempatan untuk merencanakan kegiatan pastoral dan segala terobosannya serta karya sosial seperti wacana pembangunan jalan di wilayah Lautan.
Kedua, Gedung Serbaguna Gianfranco Cruder. Gedung ini berdiri di atas lokasi tanah yang diwariskan oleh Pater Gianfranco Cruder, SX. Setelah pembiaran yang begitu lama terjadi, Desember 2020 kemarin Gedung ini telah resmi difungsikan.
Gedung ini akan disiapkan untuk pesta Jubileum Paroki tahun 2022 ini. Boleh saya katakan, berdirinya gedung ini menjadi satu kebanggaan bagi umat Tanjung Balai, dan dengan keyakinan berkata, “Kami sekarang memiliki Gedung Serbaguna (juga)”.
Penutup: “Ab Ovo Usque ad Mala”
Semua coretan pengalaman di atas mengisahkan betapa beragamnya karya pelayanan di wilayah Paroki Tanjung Balai. Aneka “hidangan” disiapkan di atas “meja” Paroki Tanjung Balai.
Ada “menu pembuka”, sesuatu yang biasa dilakukan, yakni karya sakramental, pelayanan mingguan/harian yang kami laksanakan baik di daratan maupun lautan. Ada “menu utama”, sesuatu yang spesial/khusus, yakni dua infrastruktur pelayanan, Gedung Serbaguna dan Pastoran Teluk Pulai, yang menolong dan mengembangkan karya Paroki. Tentu saja yang terakhir ada “menu penutup” yakni karya dalam bidang sosial, membantu mereka yang menjadi korban kerasnya hidup.
Tepat rasanya jika saya menyematkan ungkapan Latin di sini, “Ab Ovo Usque ad Mala”, “dari Telur sampai Apel”, “dari menu pembuka sampai hidangan penutup”, “dari awal sampai akhir” tersedia di atas “meja pelayanan Paroki Tanjung Balai”.