Kupang, Indonesia. Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali mengadakan kursus online bagi para biarawan-biarawati yuniorat. Dalam kursus kali ini, didiskusikan tentang psikologi dalam hidup membiara. Kursus ini mengundang P. Yohanes Don Bosco Asmirudin, CMF, M.A. untuk menjadi pembicara. Tema yang diangkat dalam kursus ini adalah Aplikasi Psikologi Positif dalam Hidup Membiara.
Menurutnya, psikologi positif itu berbeda dengan cabang ilmu psikologi yang lain. Cabang psikologi yang lain dibaratkan sebagai lalat yang hanya mencari sampah, yakni hal-hal buruk yang ada dalam hidup. Sedangkan psikologi positif diibaratkan seperti lebah yang mencari hal-hal yang indah, seperti bunga. Nantinya, lebah akan menghasilkan madu. Demikian juga psikologi positif yang fokus mencari hal-hal yang baik dalam diri. Psikologi positif fokus pada kekuatan diri, bukan pada kelemahannya.
Untuk itu, psikologi positif membantu untuk membangun diri seorang religius, khususnya dalam hidup berkomunitas. Ketika seorang religius menyerap hal-hal positif untuk hidupnya, tentunya dia akan menjalani kehidupan dengan baik, dan panggilannya menjadi bertumbuh subur. Psikologi positif dapat menjadi alat yang berharga bagi setiap biarawan/wati dalam menjalani hidup bersama. Contoh prakteknya dalam kehidupan adalah bersyukur kepada Tuhan dalam Ekaristi dan doa pribadi, memberi pengampunan kepada orang lain dan meminta maaf atas kesalahan yang dibuat; dan menulis hal-hal baik dalam kehidupan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologi positif, para biarawan/wati dapat meningkatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keefektifan dalam pelayanan mereka. Pada akhirnya, psikologi positif membantu kaum biarawan/wati hidup dalam sukacita Roh Tuhan. Kursus ini diikuti oleh biarawan/wati dari berbagai Kongregasi, seperti CMF, CB, FAdM, MI, SFMA, MISC, dan HMBN.
Kupang, Indonesia. Para religius se-Indonesia kembali bertemu dalam Pekan Hidup Bakti XIV 2024. Tema yang digagas dalam Pekan Hidup Bakti kali ini adalah “Menuju Pembaruan Hidup Bakti: Berakar, Bertumbuh, dan Berbuah”. Kegiatan akbar para religius ini digelar secara online via Zoom pada 1-3 Februari 2024 dan dimoderatori oleh P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF.
Hari pertama dibuka dengan dengan presentasi materi dari P. Dr. Valens Agino, CMF. Tema yang dibawakan oleh P. Dr. Valens Agino, CMF adalah “Menjadi Murid Sang Guru dengan Berakar, Bertumbuh, dan Berbuah”. Dalam presentasinya, P. Dr. Valens Agino, CMF melihat fenomena dunia zaman sekarang, menurutnya sedang menghadapi dunia yang bermental “cair” yang cepat, tidak pasti, rumit, dan ambigu. Untuk itu, beliau mengajak para peserta untuk tetap kokoh menghadapi dunia yang serba cair itu. Caranya adalah dengan penyadaran kembali identitas kaum hidup bakti sebagai murid Sang Guru yang memiliki akar yang mendalam supaya bertumbuh dengan segar dan kuat, sehingga akhirnya kita menghasilkan buah yang berlimpah.
Kemudian Sr. Yosita Sri Murtini, CB selaku pembicara kedua mempresentasikan materinya yang berjudul “Formasi Digital dalam Hidup Bakti Saat Ini”. Sr. Yosita Sri Murtini, CB banyak menyoroti tentang situasi psikologi kaum hidup bakti masa kini yang banyak dipengaruhi oleh situasi zaman, yakni zaman digital. Di zaman sekarang, hampir semua kaum hidup bakti sudah bersentuhan dengan teknologi. Maka itu, menurutnya, di rumah formasi harus digaungkan pembinaan yang tepat. Pembinaan sangat penting untuk mengembangkan dan meletakkan dasar yang kokoh bagi pelayanan komunikasi Gereja. Pembinaan yang tepat bisa membuat formandi terlepas dari keterikatan dengan gadget.
Pada hari kedua, presentasi pertama dibuka oleh P. Dr. Agustinus Supur, CMF yang membicarakan tema tentang Spiritualitas Hidup Bakti. P. Dr. Agustinus Supur, CMF kemudian mengerucutkan tema tersebut dalam presentasi berjudul Religius en Theos. Dalam materi tersebut, Dekan ICLA Manila ini berharap agar para religius di masa kini hidup selalu dalam Tuhan. Namun, pada kenyataannya, ada begitu banyak religius yang justru tidak hidup dalam Tuhan. Menurut pandangannya, krisis kehidupan membiara di Asia tidak terletak pada minimnya orang-orang untuk menjadi kaum hidup bakti, melainkan pada lemahnya orang-orang terpanggil untuk hidup dalam Tuhan. “Persoalan kita bukan ‘kurangnya pekerja di kebun anggur’, tetapi ‘kurangnya pekerja en-theos’”, tuturnya.
Untuk itu, mengutip Richard M. Gula, P. Dr. Agustinus Supur, CMF menjelaskan empat jalan agar seorang religius bisa menjadi religius en-theos, yakni berkembang secara manusiawi, berkembang secara rohani, berkembang secara intelektual, dan berkembang secara pastoral. Tidak dipungkiri juga bahwa agar seorang hidup bakti menjadi seorang religius en-theos, ada juga pihak-pihak lain yang dapat membantu, seperti komunitas, keluarga, formator, pembimbing rohani, dan lain-lain.
Sementara itu, Sr. M. Immaculata Silalahi, SFD yang menjadi pembicara kedua mempresentasikan materinya dengan judul Spiritualitas dan Misi Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Dalam presentasinya, Sr. M. Immaculata Silalahi, SFD banyak berbagi kisah tentang ibu pendiri, kharisma, spiritualitas, misi dari para suster SFD di Indonesia. Selain itu, ada juga sharing tentang formasi dan kehidupan berkomunitas dari para suster SFD.
Pekan Hidup Bakti XIV 2024 pada hari ketiga dibuka dengan presentasi dari P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF. Presentasi tersebut berjudul “Kepemimpinan dalam Hidup Bakti”. Dalam presentasi tersebut, para peserta disuguhkan dengan materi-materi seputar kepemimpinan dalam kehidupan membiara sebagaimana yang diajarkan dalam dokumen-dokumen Gereja. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam presentasi ini adalah Kitab Hukum Kanonik dan dokumen Faciem Tuam. Dalam presentasi atas kedua dokumen ini, P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF menekan dua unsur penting dalam kepemimpinan, yakni soal otoritas dan soal ketataan. Dengan dua hal ini, seorang pemimpin diharapkan membawa institusi hidup bakti dan anggota-anggotanya ke arah hidup yang lebih baik.
Kemudian Sr. Afra Primadiana, FCJ yang bertindak sebagai pembicara terakhir mempresentasikan materinya yang berjudul “Otoritas dan Kepemimpinan dalam Hidup Bakti”. Sr. Afra Primadiana, FCJ membagi presentasinya dalam empat bagian yakni prinsip hidup bakti, kepemimpinan hidup bakti yang berakar, kepemimpinan hidup bakti yang bertumbuh, dan kepemimpinan hidup bakti yang berbuah.
Kisah Pengalaman Misi P. Eusabius Toda, CMF di Madagaskar
Ankarana, Madagaskar. Kamis, 27 April 2023 merupakan hari yang bersejarah bagi Kongregasi Para Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria dan Para Suster Maria Imakulata Misionaris Claretian. Pada hari tersebut, diadakan acara penyerahan misi baru bagi para misionaris Claretian di Distrik Ankarana Keuskupan Farafangan, Madagaskar oleh Bapa Uskup Mgr. Gaetano Del Piero. Acara resmi tersebut menandai dimulainya lembaran baru misi Claretian di Madagaskar, negara ke-70 bagi para Claretian untuk misi pelayanan Sabda Allah.
Acara ini diawali dengan penjemputan para Misionaris Claretian (CMF dan RMI) di pastoran oleh Bapa Uskup dan umat. Upacara ini merupakan ungkapan bahwa mereka dengan senang hati menerima para misionaris Claretian, untuk berjalan, menemani serta berkarya di tempat mereka dan bersama mereka.
P. Eus Toda, CMF (kiri) bersama foto bersama Bapa Uskup dan para Claretian saat diterima di paroki
Rangkaian acara dibuat secara sederhana tapi penuh makna. Mulai dari penjemputan di pastoran, upacara penerimaan di depan Gereja, lonceng Gereja dibunyikan oleh pastor paroki yang baru sebagai simbol memanggil umat Allah datang ke Gereja untuk berdoa. Penyerahan kunci Gereja kepada pastor paroki yang baru dan penyembahan Sakramen Mahakudus sebagai simbol bahwa Ekaristi sebagai puncak dan pusat dari pelayanan. Pastor paroki bersama Bapa Uskup memegang tongkat uskup sebagai simbol bahwa Bapa Uskup membagi reksa pastoral dalam penggembalaan umat di distrik Ankarana. Setelah itu, pastor paroki dipersilakan untuk duduk di kursi Bapa Uskup agar umat datang mengulurkan tangan dihadapannya sebagai lambang bahwa mereka siap bekerja sama dan taat kepada pastor paroki.
Hidup yang Serba Berkekurangan: Gereja, Pendidikan, Kesehatan
Distrik Ankarana letaknya cukup dekat dari keuskupan. Perjalanan tersebut dapat ditempuh dengan mobil kurang lebih selama 3 jam. Sedangkan ke ibu kota Madagaskar yakni kota Antananarivo, perjalanannya memakan waktu sekitar 25 jam dengan taksi bus.
Paroki yang kami layani di distrik Ankarana memiliki 15 Stasi. Jarak dari distrik Ankarana ke stasi-stasi tersebut cukup jauh. Selain jauh, medannya juga sangat menantang. Jika musim hujan tiba maka akses ke stasi hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Ada juga ketika berkunjung ke stasi, seorang misionaris harus menggunakan perahu untuk menyeberang. Sudah sekian lama ada beberapa stasi di distrik Ankarana tidak dikunjungi oleh pastor. Mereka rindu untuk merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Itu berarti mereka membutuhkan pelayan tertahbis agar bisa bertemu dengan Yesus yang sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi Kudus.
P. Eus Toda, CMF saat mengadakan pelayanan di salah satu stasi
Di tengah kerinduan akan perayaan Ekaristi, muncul kebijakan yang sangat baik dari pihak paroki untuk melibatkan awam dalam kegiatan pastoral. Kendati belum ada jadwal kunjungan dari pastor, umat di stasi-stasi masih menggunakan sarana yang mungkin untuk bisa bertemu Tuhan. Di stasi-stasi sudah ada para katekis yang selalu siap sedia melayani dan mengerjakan kegiatan-kegiatan pastoral dari paroki. Katekis-katekis ini membantu dalam pelayanan ibadat di stasi setiap hari Minggu dan pelayanan ibadat lainnya.
Untuk menjadi pelayan dalam Gereja, para katekis dipilih dan juga dipersiapkan secara khusus melalui formasi di keuskupan. Mereka pada umumnya memiliki latar belakang kehidupan yang sederhana dengan pendidikan seadanya. Tetapi satu hal yang menarik adalah mereka sungguh-sungguh memberi diri dalam pelayanan. Mereka tidak memperhitungkan tentang pengorbanan. Setiap bulan selalu ada jadwal pertemuan katekis di distrik Ankarana. Maka semua katekis akan datang dari stasi-stasi. Walaupun harus menempuh jarak yang cukup jauh – bahkan tak punya alas kaki – tapi semangat untuk terus melangkah dan hadir mengikuti pertemuan dan formasi bulanan tidaklah padam. Sungguh luar biasa jika sebuah pelayanan dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh rasa tanggung jawab yang besar. Semuanya itu tentunya demi kemuliaan Allah dan keselamatan umat manusia!
Umumnya, umat melangsungkan ibadat di rumah umat atau di bawah tenda darurat yang amat sederhana. Namun, mereka tidak memiliki satu gedung kapela permanen karena gedung kapela yang rusak karena tertimpa badai siklon Freddy. Setiap tahun selalu ada siklon Freddy yang memporak-porandakan rumah, pohon, hingga kapela. Kendati begitu, biarpun barang-barang kami hancur tertimpa badai yang dahsyat, kami justru bersyukur karena badai tersebut membawa hujan sehingga kami bisa mendapat air. Maklum, hidup hanya bergantung pada alam: jika hujan maka ada air, jika tidak maka kekurangan air.
Gereja paroki tempat kami bermisi pun juga mengalami banyak kekurangan. Barang-barang liturgi di paroki maupun stasi belum tersedia lengkap seperti kain altar, kasula, stola, piala, dan sebagainya. Begitupun dengan struktur kepengurusan entah itu di paroki maupun di stasi. Hal ini merupakan pekerjaan tahap awal bagi kami untuk membenahi struktur kepengurusan dalam paroki dan stasi-stasi. Apalagi pemahaman mereka tentang liturgi juga masih sangat kurang.
Mata pencaharian umat di sini adalah petani dan peternak sapi. Mereka umumnya memiliki kebun sendiri, tetapi ada yang tidak. Mereka yang tidak memiliki kebun sendiri akan membangun kerjasama dengan pemilik tanah lalu hasilnya dibagi dua. Musim untuk berkebun dimulai pada bulan Desember hingga pada bulan April. Bulan-bulan ini merupakan musim hujan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka akan membuka kebun dan mulai menanam padi, jagung, dan tanaman lain yang bisa dijadikan makanan pokok. Dengan situasi ini, banyak dari orang-orang Madagaskar yang masih bekerja demi memperoleh makanan sehari. Mendapat makanan sehari saja sudah menjadi rahmat yang besar dalam hidup.
Realitas anak-anak di Distrik Ankarana
Seperti halnya di Indonesia, makanan pokok di Madagaskar umumnya berupa nasi, jagung dan umbi-umbian. Untuk makanan sangat aman bagi para misionaris yang berasal dari Indonesia. Karena sama-sama menyantap nasi, jagung umbi-umbian. Jadi, untuk adaptasi makanan di Madagaskar bukanlah suatu ujian yang berat. Para misionaris dari Indonesia ketika melihat makanan yang ada di Madagaskar merasa bahwa mereka hanya berpindah saja tempat dari Indonesia ke Madagaskar.
Pendidikan anak-anak di distrik Ankarana masih sangat terbelakang. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang mampu, memiliki peluang yang sangat besar untuk mengenyam pendidikan. Sedangkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu, kesulitan untuk sekadar bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Hal ini memang tidak lepas dari realitas hidup keluarga-keluarga. Di Madagaskar sangat kentara adanya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya akan tetap menjadi kaya sedangkan orang miskin terus berada dalam garis kemiskinan. Untuk itu, demi bisa menunjang kehidupan pendidikan dari anak-anak, ada beberapa orang yang menawarkan diri untuk membantu di paroki. Dengan demikian ada sedikit uang yang bisa membantu mereka melanjutkan pendidikan. Mereka memiliki semangat tetapi terhalang oleh biaya.
P. Eus Toda, CMF foto bersama anak-anak
Kadangkala kedengarannya agak lucu soal sekolah. Sekolah tergantung pada guru. Jika guru ada maka kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Tetapi jika guru tidak masuk maka sekolah akan libur. Meski situasi ini mengundang sedikit gelak tawa, masih banyak anak-anak yang punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan.
Distrik Ankarana juga memiliki sebuah rumah sakit yang dibangun oleh pemerintah. Keadaan rumah sakit ini juga sangat sederhana. Walaupun sederhana tapi orang tetap untuk berobat karena memang tidak ada pilihan lain lagi untuk tetap sehat. Seperti di banyak tempat yang lain, distrik Ankarana memiliki banyak jenis penyakit. Ada malaria, ada TBC, dan penyakit menular lainnya. Untuk penyakit malaria dan TBC, masyarakat memperoleh obat gratis dari pemerintah. Yang menarik di sini adalah ketika ada misionaris yang terjangkit penyakit malaria. Akan ada komentar unik bermunculan yang mengatakan, “Inilah baptisan baru untuk menjadi misionaris di Afrika!”
P. Eus Toda, CMF foto bersama umat di depan kapela stasi seusai merayakan Ekaristi
Kebanyakan, ketika orang-orang mendengar dan mengetahui bahwa ada para suster yang berkarya di distrik Ankarana maka mereka meluangkan waktu untuk datang dan meminta obat. Setelah mendapatkan obat – dan terlebih jika mengalami kesembuhan – kabar baik itu pun dengan cepat menyebar ke pelosok Ankarana maupun stasi-stasi sehingga semakin banyak yang datang untuk berobat dan konsultasi tentang kesehatan. Kehadiran para suster sangat membantu di bagian pendidikan dan juga kesehatan.
Situasi serba kekurangan ini memotivasi kami untuk bermisi. Sebagai misionaris, kami siap menjadi berkat bagi sesama yang membutuhkan. Siap menjadi saluran Rahmat Allah bagi sesama yang menderita dan membutuhkan sentuhan belas kasih. Doakan kami selalu.