Kursus Bagi Kaum Hidup Bakti Yuniorat 2025 bersama P. Agustinus Supur, CMF

Kupang, Indonesia. Pada Jumat (14/2/2025), Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali menggelar kursus untuk kaum hidup bakti yuniorat. Kursus tersebut akan dilaksanakan setiap bulan dengan materi-materi yang menarik, terhitung mulai Februari hingga Juni 2025.

Pada kesempatan pertama di bulan Februari, kursus dibuka dengan materi yang dibawakan oleh P. Agustinus Supur, CMF. Tema yang dibahas dalam kursus kali ini adalah “Kaul-kaul Kebiaraan: Spiritualitas dan Praktek Menuju Komitmen yang Definitif”.

Dalam pemaparannya, P. Agustinus Supur, CMF menuturkan bahwa Hidup Baktu dilihat sebagai hidup seseorang. Itu artinya, hidup bakti tidak sekadar tentang masuk kapela, menggunakan jubah, tinggal di biara, dan lain sebagainyanya. Tetapi lebih kepada sebuah proses harian yang dilaksanakan seseorang secara setia dan penuh komitmen.

Dengan demikian, dengan berbicara tentang spiritualitas kaul-kaul kebiaraan, berarti membicarakan tentang keputusan bebas dan tentang komitmen hidup seseorang untuk mengikuti dan menyerupakan diri dengan Kristus yang murni, miskin, dan taat. Ketiga kaul tersebut, bukanlah tujuan, melainkan sarana bagi seseorang untuk menanggapi panggilan Tuhan.

Namun, perjalanan hidup setiap orang tentu berbeda-beda. Bagi P. Agustinus Supur, CMF, orang-orang masuk biara dengan situasi diri mereka masing-masing, dengan karakter antropologisnya sendiri-sendiri, dan dengan pola kemanusiaan yang unik dan berbeda. Untuk itu, panggilan yang diterima seseorang digambarkannya seperti benih yang jatuh di berbagai tempat (Mat 13:1-13), ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di tanah berbatu, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di semak duri. Itu semua terjadi karena panggilan itu tidak berakar jauh sampai humus Hidup Bakti, yakni mencintai Tuhan dengan hati yang utuh. Dan pada akhirnya, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di tanah yang baik.

Selain itu, dalam presentasinya, P. Agustinus Supur, CMF mengungkapkan bahwa hidup bakti sebagai kata kerja, yakni kesatuan proses dan perbuatan mengikuti Kristus dan menyerupakan diri dengan Kristus. Untuk itu, bilamana membicarakan spiritualitas kaul-kaul kebiaraan, artinya bicara tentang proses dan tindakan terencana dan terpola terkait penyerupaan diri dengan Kristus yang Murni, Miskin, Taat.

Menurutnya, mengikuti dan menyerupakan diri dengan Kristus merupakan proses dan tindakan harian yang bersifat terencana dan terpola, yakni tentang kesadaran atau kepekaan seseorang untuk mendarahdagingkan kaul-kaul dalam diri. Untuk itu, kaul-kaul bukan sekadar statement biasa, tetapi merupakan sebuah pengakuan iman.

Kursus untuk yuniorat hidup bakti 2025 ini diikuti oleh berbagai Kongregasi dan Tarekat, baik frater, bruder, dan suster, yang tersebar di seluruh dunia. Para peserta kursus mengikutinya dengan penuh antusias dan penuh perhatian.

Galeri Foto

Webinar KOPTARI: Menjadi Gereja Pengharapan bagi Perdamaian Dunia

Kupang, Indonesia. Pada Senin (10/2/2025), KOPTARI (Konferensi Pemimpin Tinggi Tarekat Religius Indonesia) sukses menyelenggarakan webinar dalam rangka Yubileum Tarekat Hidup Bakti, yang dihadiri oleh ratusan kaum hidup bakti dari berbagai Kongregasi dan Tarekat di seluruh Indonesia. Tema yang diangkat dalam webinar kali ini adalah “Peziarah Harapan dalam Perjalalanan Menuju Perdamaian”. Webinar ini menghadirkan dua pembicara utama yang sangat dihormati, yaitu Uskup Ignatius Kardinal Suharyo dan P. Valens Agino, CMF.

Pada kesempatan pertama, Bapa Kardinal membawakan materinya berjudul “Gereja sebagai Komunitas Pengharapan”. Dalam pemaparannya, beliau meninjau tentang “pengharapan”. Menurutnya, harapan tidak bisa disamakan begitu saja dengan optimisme. Landasan optimis adalah perhitungan-perhitungan manusiawi, sedangkan landasan harapan adalah iman. Dengan menjadikan iman sebagai landasan harapan, kata Rasul Paulus, bahwa Allah yang memulai pekerjaan yang baik, akan meneruskannya sempai pada hari Kristus Yesus (Flp 1:6). Artinya, Allah yang memulai, Allah yang akan menyelesaikannya.

Terkait pekerjaan Allah ini, Kardinal Suharyo melihat bahwa semua karya Allah adalah sungguh amat baik. Terbukti bahwa sejak awal penciptaan, Allah selalu mengatakan bahwa semua ciptaan-Nya adalah baik adanya. Kemudian di akhir Alkitab, yakni pada Kitab Wahyu, Allah sendirilah yang menyempurnakan karya agung-Nya. Jadi, di awal dan di akhir, Allah selalu menjadikan segala sesuatu baik adanya.

Dalam presentasinya juga, Bapa Kardinal, mengutip Paus Fransiskus, mengajak Gereja untuk menjadi Gereja yang peduli. Dengan peduli, Gereja justru menunjukkan wajah Gereja yang bergerak dan terlibat. Terdapat beberapa wilayah keterlibatan Gereja, yakni hormat terhadap martabat manusia, memastikan kebaikan bersama (bonum commune), solidaritas, dan merawat alam ciptaan.

Kemudian, setelah mendengarkan materi dari Bapa Kardinal, para peserta disuguhkan dengan materi yang dibawakan oleh P. Valens Agino, CMF. Judul materinya adalah “Peziarah Harapan dalam Perjalanan Menuju Perdamaian”. Inspirasi materinya didasarkan pada Kitab Kidung Agung. Baginya, peziarah harapan itu layaknya seorang kekasih yang mencari jantung hatinya. Kekasihnya lebih penting daripada pekerjaan, kebun anggur, dan keluarganya, termasuk dirinya sendiri. Artinya, menurut refleksi P. Valens Agino, CMF, kaum hidup bakti pun mesti terus bertualang tanpa putus asa dan tanpa putus harapan untuk terus mencari Dia.

Selain itu, sesuai dengan tema yang dibahas, P. Valens Agino, CMF menuturkan bahwa untuk menjadi pembawa perdamaian, seorang kaum hidup baktu tidak harus menjadi orang besar dan memiliki posisi atau jabatan yang tinggi. Menurutnya, menjadi diri sendiri sudah lebih dari cukup untuk membawa perdamaian kepada dunia. Secara biblis, terdapat beberapa inspirasi, yakni menjadi seperti “sisa Israel” yang diselamatkan Tuhan karena selalu bersandar setia pada Tuhan; menjadi biji sesawi yang meski kecil namun bertumbuh menjadi pohon yang besar; menjadi bayi mungil dan ibu hamil yang bisa mengalahkan raja dan naga besar; dan menjadi seekor Anak Domba yang disembelih dan menang atas naga besar dan binatang buas. Baginya, menjadi kecil bukan berarti kaum hidup bakti tidak bisa menjadi pelopor di jalan menuju perdamaian.

Webinar ini ditutup dengan tanggapan dan pertanyaan dari para peserta. Mereka semua mengikuti dengan antusias, memberikan tanggapan positif atas materi yang disampaikan dan diskusi yang diadakan setelah sesi presentasi.

Galeri Foto

Pekan Hidup Bakti XV 2025: Menghayati Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian Hidup Bakti dalam Dunia VUCA

Kupang, Indonesia. Tahun 2025 ini, Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali mengadakan Pekan Hidup Bakti (PHB) edisi ke-15. Tema yang diangkat dalam PHB XV kali ini adalah “Menghayati Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian Kaum Hidup Bakti dalam Dunia VUCA”. Kata “VUCA” dalam tema ini merupakan akronim dari Volatility (ketidakstabilan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan).

Pada PHB XV 2025 kali ini, yang bertindak sebagai pembicara adalah P. Valens Agino, CMF; P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF; P. Sabu George Palackathadathil, CMF; P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF; P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF; dan Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Kegiatan ini dimoderasi oleh P. Reneldus Maryono Paing, CMF.

Hari Pertama

Pada hari pertama, materi diberikan oleh P. Valens Agino, CMF dan P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF. Pada kesempatan pertama, P. Valens Agino, CMF memaparkan materinya perihal Dunia VUCA dan Hidup Bakti. Dunia VUCA merupakan suatu keadaan lingkungan yang mampu berubah-ubah dengan cepat, tidak terduga, dan sulit terkontrol.

Kemunculan dunia VUCA juga mempengaruhi hidup bakti. Misalnya, proyek pribadi dan proyek komunitas yang tidak punya visi jangka panjang serta komitmen pribadi yang ikut mood (volatility), mentalitas instan tanpa pendirian dan takut mengalami penderitaan (uncertainty), kerumitan dalam mempertahankan diri secara ekonomi (complexity), dan kebebasan menginterpretasi konstitusi, spiritualitas, dan karisma Kongregasi (ambiguity).

Menurut P. Valens Agino, CMF, pengaruh buruk dunia VUCA dalam hidup bakti bisa dilawan dengan VUCA pula, yakni vision yang jelas akan panggilan, karisma dan spiritualitas dan motivasi hidup membiara; understanding yang jelas akan panggilan, karisma, dan motivasi hidup membiara; courage untuk bersikap dan mengambil resiko sesuai nilai-nilai kehidupan membiara; dan adaptability yakni terbuka tanpa mengorbankan nilai-nilai inti kehidupan membiara.

Tambahnya, budaya penegasan spiritual (Discernment spiritual) sangat membantu kaum hidup bakti dalam menghadapi semua model perubahan yang terjadi dalam dunia. Mengutip Paus Fransiskus dalam dokumen Gaudete et Exultate, penegasan spiritual memampukan kaum hidup bakti untuk membedakan yang dari Roh Allah dan yang dari roh dunia. Penegasan spiritual ini lebih dari sekadar kemampuan intelektual dan akal sehat, tetapi juga rahmat yang dimohonkan. Dan penegasan spiritual ini merupakan sarana perjuangan kaum hidup bakti untuk mengikuti Tuhan dengan lebih baik.

P. Valens Agino, CMF juga menambahkan empat tawaran perjalanan spiritual untuk dunia dewasa ini, sebagaimana yang direfleksikan oleh José Cristo Rey García Paredes, CMF dan Gonzalo Fernández Sanz, CMF, yakni adoratio yang berarti perjalanan dari penyembahan berhala menuju iman; missio yang berarti pejalanan dari funsionalisme menuju mistisisme misioner; conversatio yang berarti perjalanan dari isolasi menuju mendengarkan dengan cermat dan berbagi; dan traditio-conversatio yang berarti perjalanan dari kemandirian menuju penyerahan diri.

Setelah itu, para peserta disuguhkan dengan materi dari P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF. Materi tersebut diberi judul “Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian dalam Sejarah Hidup Bakti”. Dalam materinya, P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF menjelaskan secara umum tiga hal penting perjalanan kaum hidup bakti dalam rel konsekrasi, kesetiaan, dan kesaksian, sebagaimana dijelaskan oleh W. Bruggemann dalam buku Spirituality of the Psalms, yakni Orientasi, Disorientasi, dan Re-Orientasi.

Dalam orientasi, kaum hidup bakti sungguh-sungguh diberi pengertian bahwa perjalanan panggilannya merupakan pembaktian diri kepada Kristus sebagai sebuah sikap aktif. Untuk itu, sikap dasar dalam orientasi ini adalah Sequela Christi (mengikuti Kristus), yakni ekspresi lahiriah dalam sikap dan keputusan yang menyatakan kehendak untuk mengikuti Kristus; dan Imitatio Christi (Meniru Kristus), yakni segala usaha untuk meneladani dan mendalami pribadi Yesus secara moral maupun mistikal (kemiskinan, ketaatan, kemurnian, rendah hati, dan lain-lain).

P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF juga menyatakan bahwa dalam sejarahnya, kaum hidup bakti seringkali mengalami disorientasi, yakni kondisi di mana kaum hidup bakti tidak lagi hidup selaras dengan cita-cita ordo atau kongregasi. Dalam arti tertentu, disorientasi hendak menjelaskan kondisi kaum hidup bakti yang mengalami krisis, ketidakpastian, atau chaos.

Menurutnya, berhadapan dengan situasi disorientasi ini, terdapat dua cara pandang yang berbeda. Ada yang menganggap pengalaman disorientasi sebagai pengalaman aib (moment of disgrace) yang kemudian selalu mempertanyakan tentang relevansi hidup bakti di masa kini dan di masa yang akan datang. Namun, ada pula yang menganggap pengalaman disorientasi sebagai pengalaman berkat (moment of grace) yang mana krisis, ketidakpastian, atau chaos ditanggapi secara dewasa, dilihat dalam kacamata positif, dan undangan kepada pertobatan dan pembaruan hidup.

Berhadapan dengan krisis, ketidakpastian, atau chaos, P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF mengungkapkan bahwa kaum hidup bakti, mau tidak mau, harus membuat reorientasi, yakni suatu langkah baru pasca mengalami disorientasi. Reorientasi ini dilandasi oleh iman yang mendalam akan kesetiaan serta belaskasih Allah. Reorientasi ini mesti ditanggapi dengan aksi penataan kembali tatanan hidup secara personal dan komunitas, discerning leadership, keterbukaan terhadap gerakan roh, kreatif, inspiratif, mistik, dan profetik.

Hari Kedua

Pada hari kedua, para peserta PHB XV 2025 mendapat kesegaran dari materi yang dibawakan oleh P. Sabu George palackathadathil, CMF dan P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF. Pada kesempatan pertama, P. Sabu George Palackathadathil, CMF membawakan materi berjudul “Konsekrasi dan Kesaksian dari Sudut Pandang Teologi Hidup Bakti”. Dalam pemaparannya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF mengingatkan bahwa menjalani panggilan sebagai kaum hidup bakti merupakan perjalanan hidup yang dikonsekrasikan kepada Allah. Konsekrasi berarti penyerahan diri secara bebas kepada Allah yang telah memanggil.

Dengan pengertian tersebut, lanjutnya, maka konsekrasi dalam hidup bakti berarti dipisahkan, disucikan, bersih dan memulai awal yang baru, menjadi pribadi yang baru sepenuhnya bagi Tuhan. Dengan demikian, kaum hidup bakti menyatakan hidup mereka lewat kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Dengan menerima cara hidup ini, mereka memiliki sarana untuk mencapai persatuan yang lebih sempurna dengan Allah sekaligus menjadi saksi persatuan yang sempurna di kehidupan yang akan datang.

Kemudian, P. Sabu George Palackathadathil, CMF juga mengingatkan akan kesaksian kaum hidup bakti. Pada bagian ini, P. Sabu George Palackathadathil, CMF menekankan kesaksian kaum hidup bakti dalam dimensi kenabian. Hal ini disebutkannya karena kaum hidup bakti sejatinya rasa profetis harus selalu ditonjolkan kepada dunia yang semakin hari semakin sulit melihat tanda-tanda kehadiran Allah.

Mengakhiri presentasinya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF menunjukkan beberapa contoh tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kaum hidup bakti. Tantangan-tantangan tersebut adalah permasalahan keluarga, komunitas, kesehatan, hidup doa, ekonomi, formasi, kepribadian ganda, dan media sosial.

Materi PHB XV 2025 hari kedua dilanjutkan dengan presentasi dari P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF. Judul makalah yang dipaparkannya adalah “Tinggallah di Dalam Kasih-Ku (Yoh 15:9): Menghidupi Komitmen Kemuridan-Misioner di Tengah Tantangan Dunia VUCA dalam Terang Dokumen Karunia Kesetiaan Sukacita Ketekunan”.

Dalam materinya, P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF berpatokan pada dokumen Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan di Vatikan pada 2 Februari 2020 silam. Diungkapkannya bahwa dokumen tersebut mengutarakan keprihatinanya sekaligus memberi pesan yang kaya bagi kaum hidup bakti. Pesan yang kaya dari dokumen tersebut hendak mengajak kaum hidup bakti agar semakin setia dan bertekun dalam menghidupi panggilan dan komitmen kemuridan yang telah dipilihnya.

Dalam menghidupi panggilan hidup bakti, lanjutnya, kaum hidup bakti justru menemukan begitu banyak ilalang yang memengaruhi proses tumbuh kembang seorang religius untuk setia pada jalan panggilannya. Beberapa hal yang disebutkan adalah pengalaman iman yang memudar; budaya fragmentaris-terpecah-pecah dan sementara; institusi hidup bakti yang kurang terbuka pada gerakan Roh Kudus; kurangnya pengolahan hidup berhadapan dengan individualisme, spiritualisme, hidup dalam dunia sempit, kecanduan, kemapanan dan lain-lain; dan relasi interpersonal dan komuniter yang sulit.

Akan tetapi, kendati ada begitu banyak ilalang yang menggerogoti kehidupan kaum hidup bakti, P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF mengajak para peserta untuk menemukan pijakan tentang karunia kesetaan dan sukacita ketekunan dalam kisah kemuridan sehari-hari. Dengan demikian, kaum hidup bakti diajak untuk berani mengimpikan kesetiaan Sang “Ya” bagi semua janji Allah dan setia-bertekun pada panggilan hidup sehari-hari.

Untuk mewujudkan semua itu, mau tidak mau, setiap kaum hidup bakti harus merawat hidup doa dengan tekun; ber-discerment serta terbuka kepada belas kasih dan kerahiman Allah; menghidupi komunitas dengan baik; melaksanakan pelayanan kerasulan yang kreatif; dan membangun formasi yang solid dan menyentuh hati. Semua hal yang dilakukan itu, bagi P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF, merupakan upaya untuk selalu tinggal dalam kasih Tuhan. Tinggal dalam kasih Tuhan, lanjutnya, merupakan momen menyambut kesetiaan-Nya dan merupakan kekuatan panggilan kaum hidup bakti.

Hari Ketiga

Kemudian pada hari ketiga, para peserta disuguhkan dengan materi yang dibawakan oleh P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF; dan Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Pada kesempatan pertama, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF membawakan materinya yang berjudul “Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan dalam Perspektif Hukum Gereja”.

Mula-mula, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF menguraikan materinya dengan mengupas dokumen Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan. Diungkapkannya bahwa dokumen ini dikeluarkan sebagai upaya Vatikan dalam menanggapi tantangan hidup bakti di hadapan dunia yang semakin sekuler. Dihadapan dunia yang semakin sekuler ini, Paus Fransiskus khawatir akan memudarnya kesetiaan dari kaum hidup bakti!

Untuk itu, dari dokumen yang sama, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF mengajak para peserta untuk menghidupi kembali kesadaran akan panggilan masing-masing. Kesadaran akan panggilan menjadi sarana yang baik bagi kaum hidup bakti untuk menghidupi kembali kesetiaannya akan panggilan dihadapan tawaran dunia sekuler yang semakin menggila.

Menurutnya, karunia kesetiaan termanifestasikan dalam sukacita ketekunan. Dan sukacita itu bersinar di wajah mereka yang membaktikan hidupnya secara total kepada Allah. Mengutip Paus Fransiskus, sukacita menjadi kebutuhan dan landasan hidup manusia. Demikian pula kaum hidup bakti mesti selalu menghidupkan sukacita panggilan mereka dalam hidup sehari-hari, karena seorang hidup bakti telah menanggapi panggilan Tuhan, memilih kasihNya dan untuk memberikan kesaksian tentang InjilNya dalam pelayanan Gereja.

Pada bagian lain dari presentasinya, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF memaparkan materi tentang keterpisahan anggota hidup bakti dari tarekatnya yang dilihat dari kacamata Hukum Gereja sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik. Dua hal yang dibagikan terkait hal ini adalah perpindahan ke tarekat lain dan tentang keluar dari tarekat. Kedua hal ini dibicarakan menurut hukum yang berlaku sah dalam Gereja.

Kemudian, materi hari ketiga dilanjutkan dengan presentasi materi dari Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Dalam pemaparannya, Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB mempresentasikan materinya dengan judul “Kesaksian dan Kesetiaan Elisabeth Gruyters dalam Menghayati Hidup Bakti”.  

Dalam kesaksiannya terkait hidup dari Elisabeth Gruyters, Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB menuturkan bahwa Elisabeth Gruyters adalah seorang yang sungguh hidup dekat dengan Allah. Kesetiaan Elisabeth Gruyters adalah tanda kedekatannya dengan Allah. Bagi Elisabeth Gruyters, hidup bakti berarti menjadikan Allah sebagai pemimpin utama dalam hidup. Di hadapan Allah, yang dapat dilakukannya hanyalah menyerahkan diri seutuhnya kepada kehendak-Nya dan tetap bertekun dalam doa. Kedekatan dengan Allah menjadi sarana utama bagi Elisabeth Gruyters untuk menjaga panggilan hidup baktinya. Seperti kata Pemazmur, hanya dekat Allah saja aku tenang (Maz 62:2).

PHB XV 2025 kali ini diadakan secara online via aplikasi zoom yang berlangsung selama tiga hari, yakni pada 30 Januari 2025 sampai 1 Februari 2025. PHB XV 2025 ini diikuti oleh kaum hidup bakti dari berbagai Kongregasi atau Tarekat hidup bakti baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia. Para peserta PHB XV 2025 diikuti oleh semua tingkatan, mulai dari aspiran, postulan, novis, yang berkaul sementara, yang berkaul kekal, hingga imam.

Galeri Foto

Pembukaan Semester Genap Formasi Hidup Bakti

Matani, Kupang. Formasi Hidup Bakti (FHB) memasuki semester yang baru. Permulaan semester baru program FHB ini dibuka dengan Ibadat Sabda bersama di Kapela Komunitas Pra Novisiat Claret Kupang, pada Senin (3/2/2025). Ibadat yang penuh hikmat ini dipimpin oleh P. Valentinus Laga Ola, CMF, dan didampingi oleh P. Sabu George Palackathadathil, CMF.

Dalam renungan singkatnya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF mengajak para peserta FHB untuk memfokuskan diri dalam program FHB ini. Dua hal yang diingatkan adalah tentang banyak mendengarkan dan saling bertukar pikiran dengan pengajar dan dengan para peserta FHB yang lain. Kedua hal ini akan memperkaya pengetahuan para peserta sekaligus meneguhkan panggilan.

P. Sabu George Palackathadathil, CMF yang juga bertindak sebagai Direktur Formasi Hidup Bakti juga mengajak para peserta untuk sebisa mungkin menggunakan kemampuan kognitif untuk menyerap pengetahuan dari mata kuliah yang diberikan. Menurutnya, dalam semester ini, para peserta akan mendapatkan mata kuliah yang menarik dan dari pengajar yang mumpuni. Untuk itu, tugas peserta adalah mengikuti dan menikmati kuliah dengan sebaik mungkin.

Mengakhiri renungannya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF mengharapkan berkat dari Allah Tritunggal untuk memberkati para peserta FHB dan semua proses yang ada, agar para peserta mampu menjadi frater dan suster yang baik untuk kongregasi masing-masing.

Formasi Hidup Bakti kali ini melibatkan 12 biara yang berdomisili di Kota Kupang dan sekitarnya. Terhitung sekitar 80 hingga 90 peserta FHB dalam acara pembukaan semester baru ini. Mereka adalah para aspiran dan postulan dari keduabelas biara tersebut. Banyaknya peserta yang hadir menunjukkan antusiasme yang tinggi dari peserta dalam menjalankan proses formasi ini.

Dengan dimulainya semester baru ini, diharapkan para peserta FHB dapat terus berkembang dalam aspek manusiawi, aspek kristiani, dan aspek kekhasan masing-masing kongregasi serta lebih siap dalam menjalani panggilan sebagai kaum hidup bakti.

Galeri Foto

Kursus Online untuk Religius Yunior 2024 Bersama P. Yohanes Don Bosco Asmirudin, CMF, M.A.

Kupang, Indonesia. Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali mengadakan kursus online bagi para biarawan-biarawati yuniorat. Dalam kursus kali ini, didiskusikan tentang psikologi dalam hidup membiara. Kursus ini mengundang P. Yohanes Don Bosco Asmirudin, CMF, M.A. untuk menjadi pembicara. Tema yang diangkat dalam kursus ini adalah Aplikasi Psikologi Positif dalam Hidup Membiara.

Menurutnya, psikologi positif itu berbeda dengan cabang ilmu psikologi yang lain. Cabang psikologi yang lain dibaratkan sebagai lalat yang hanya mencari sampah, yakni hal-hal buruk yang ada dalam hidup. Sedangkan psikologi positif diibaratkan seperti lebah yang mencari hal-hal yang indah, seperti bunga. Nantinya, lebah akan menghasilkan madu. Demikian juga psikologi positif yang fokus mencari hal-hal yang baik dalam diri. Psikologi positif fokus pada kekuatan diri, bukan pada kelemahannya.

Untuk itu, psikologi positif membantu untuk membangun diri seorang religius, khususnya dalam hidup berkomunitas. Ketika seorang religius menyerap hal-hal positif untuk hidupnya, tentunya dia akan menjalani kehidupan dengan baik, dan panggilannya menjadi bertumbuh subur. Psikologi positif dapat menjadi alat yang berharga bagi setiap biarawan/wati dalam menjalani hidup bersama. Contoh prakteknya dalam kehidupan adalah bersyukur kepada Tuhan dalam Ekaristi dan doa pribadi, memberi pengampunan kepada orang lain dan meminta maaf atas kesalahan yang dibuat; dan menulis hal-hal baik dalam kehidupan.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologi positif, para biarawan/wati dapat meningkatkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keefektifan dalam pelayanan mereka. Pada akhirnya, psikologi positif membantu kaum biarawan/wati hidup dalam sukacita Roh Tuhan. Kursus ini diikuti oleh biarawan/wati dari berbagai Kongregasi, seperti CMF, CB, FAdM, MI, SFMA, MISC, dan HMBN.

Galeri Foto

Pekan Hidup Bakti XIV 2024: Berakar, Bertumbuh, Berbuah

Kupang, Indonesia. Para religius se-Indonesia kembali bertemu dalam Pekan Hidup Bakti XIV 2024. Tema yang digagas dalam Pekan Hidup Bakti kali ini adalah “Menuju Pembaruan Hidup Bakti: Berakar, Bertumbuh, dan Berbuah”. Kegiatan akbar para religius ini digelar secara online via Zoom pada 1-3 Februari 2024 dan dimoderatori oleh P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF.

Hari pertama dibuka dengan dengan presentasi materi dari P. Dr. Valens Agino, CMF. Tema yang dibawakan oleh P. Dr. Valens Agino, CMF adalah “Menjadi Murid Sang Guru dengan Berakar, Bertumbuh, dan Berbuah”. Dalam presentasinya, P. Dr. Valens Agino, CMF melihat fenomena dunia zaman sekarang, menurutnya sedang menghadapi dunia yang bermental “cair” yang cepat, tidak pasti, rumit, dan ambigu. Untuk itu, beliau mengajak para peserta untuk tetap kokoh menghadapi dunia yang serba cair itu. Caranya adalah dengan penyadaran kembali identitas kaum hidup bakti sebagai murid Sang Guru yang memiliki akar yang mendalam supaya bertumbuh dengan segar dan kuat, sehingga akhirnya kita menghasilkan buah yang berlimpah.

Kemudian Sr. Yosita Sri Murtini, CB selaku pembicara kedua mempresentasikan materinya yang berjudul “Formasi Digital dalam Hidup Bakti Saat Ini”. Sr. Yosita Sri Murtini, CB banyak menyoroti tentang situasi psikologi kaum hidup bakti masa kini yang banyak dipengaruhi oleh situasi zaman, yakni zaman digital. Di zaman sekarang, hampir semua kaum hidup bakti sudah bersentuhan dengan teknologi. Maka itu, menurutnya, di rumah formasi harus digaungkan pembinaan yang tepat. Pembinaan sangat penting untuk mengembangkan dan meletakkan dasar yang kokoh bagi pelayanan komunikasi Gereja. Pembinaan yang tepat bisa membuat formandi terlepas dari keterikatan dengan gadget.

Pada hari kedua, presentasi pertama dibuka oleh P. Dr. Agustinus Supur, CMF yang membicarakan tema tentang Spiritualitas Hidup Bakti. P. Dr. Agustinus Supur, CMF kemudian mengerucutkan tema tersebut dalam presentasi berjudul Religius en Theos. Dalam materi tersebut, Dekan ICLA Manila ini berharap agar para religius di masa kini hidup selalu dalam Tuhan. Namun, pada kenyataannya, ada begitu banyak religius yang justru tidak hidup dalam Tuhan. Menurut pandangannya, krisis kehidupan membiara di Asia tidak terletak pada minimnya orang-orang untuk menjadi kaum hidup bakti, melainkan pada lemahnya orang-orang terpanggil untuk hidup dalam Tuhan. “Persoalan kita bukan ‘kurangnya pekerja di kebun anggur’, tetapi ‘kurangnya pekerja en-theos’”, tuturnya.

Untuk itu, mengutip Richard M. Gula, P. Dr. Agustinus Supur, CMF menjelaskan empat jalan agar seorang religius bisa menjadi religius en-theos, yakni berkembang secara manusiawi, berkembang secara rohani, berkembang secara intelektual, dan berkembang secara pastoral. Tidak dipungkiri juga bahwa agar seorang hidup bakti menjadi seorang religius en-theos, ada juga pihak-pihak lain yang dapat membantu, seperti komunitas, keluarga, formator, pembimbing rohani, dan lain-lain.

Sementara itu, Sr. M. Immaculata Silalahi, SFD yang menjadi pembicara kedua mempresentasikan materinya dengan judul Spiritualitas dan Misi Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina. Dalam presentasinya, Sr. M. Immaculata Silalahi, SFD banyak berbagi kisah tentang ibu pendiri, kharisma, spiritualitas, misi dari para suster SFD di Indonesia. Selain itu, ada juga sharing tentang formasi dan kehidupan berkomunitas dari para suster SFD.

Pekan Hidup Bakti XIV 2024 pada hari ketiga dibuka dengan presentasi dari P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF. Presentasi tersebut berjudul “Kepemimpinan dalam Hidup Bakti”. Dalam presentasi tersebut, para peserta disuguhkan dengan materi-materi seputar kepemimpinan dalam kehidupan membiara sebagaimana yang diajarkan dalam dokumen-dokumen Gereja. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam presentasi ini adalah Kitab Hukum Kanonik dan dokumen Faciem Tuam. Dalam presentasi atas kedua dokumen ini, P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF menekan dua unsur penting dalam kepemimpinan, yakni soal otoritas dan soal ketataan. Dengan dua hal ini, seorang pemimpin diharapkan membawa institusi hidup bakti dan anggota-anggotanya ke arah hidup yang lebih baik.

Kemudian Sr. Afra Primadiana, FCJ yang bertindak sebagai pembicara terakhir mempresentasikan materinya yang berjudul “Otoritas dan Kepemimpinan dalam Hidup Bakti”. Sr. Afra Primadiana, FCJ membagi presentasinya dalam empat bagian yakni prinsip hidup bakti, kepemimpinan hidup bakti yang berakar, kepemimpinan hidup bakti yang bertumbuh, dan kepemimpinan hidup bakti yang berbuah.

Galeri Foto