Seminar Tentang Teknologi Komunikasi dan Kesehatan Mental Berhasil Digelar Kelompok Claret Way Kupang

Lasiana, Kupang. Kelompok Claret Way Kupang sukses menggelar seminar bertemakan “Komunikasi, Teknologi, dan Kesehatan Mental” di Aula Kuria Claretian Kupang pada Sabtu (15/2/2025). Seminar ini mengundang P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF dan Marselino K. P. Abdi Keraf, S.Psi., M.Psi., Psikolog menjadi pembicaranya.

Materi pertama dibawakan oleh Marselino K. P. Abdi Keraf, S.Psi., M.Psi., Psikolog. Sebagai seorang psikolog, beliau melihat tentang Kesehatan mental seseorang tergantung dari pribadi yang bersangkutan. Pikiran yang sehat akan membentuk pribadi yang sehat pula tetapi pikiran yang buruk akan sangat berpengaruh terhadap perilakunya pula, sehingga ketika berbicara tentang bunuh diri berarti berbicara tentang mereka yang belum mampu mengolah pikirannya dengan baik.

Menurutnya, pikiran itu seumpama orang meletakan tisu di atas tangannya. Lama kelamaan tisu itu akan terasa berat. Apakah beban itu datang dari tisu? Jawabanya tidak. Tanganlah yang memberi beban pada dirinya sendiri bukan tisu. Sama halnya dengan pikiran. Jika satu persoalan kecil disimpan dalam pikiran secara terus menerus maka persoalan itu akan terasa berat dan akan menimbulkan persoalan lain yang mengakibatkan tindakan bunuh diri.

Sementara itu, materi kedua dibawakan oleh P. Dr. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF. Pastor yang akrab dengan P. Doddy, CMF ini membawakan materinya berkaitan dengan Artificial Inteligence (AI). Berhadapan dengan dunia teknologi, beliau melihat dari sudut pandang Gereja.

Berdasarkan slide yang dipaparkan, P. Doddy menyatakan bahwa ada banyak dokumen Gereja dan Bulla yang sudah dikeluarkan oleh Paus untuk menanggapi sitausi yang sedang dihadapi dunia saat ini, termasuk riuhnya permasalahan tentang AI. Menurut beliau, AI pada satu sisi dapat membantu manusia dalam banyak hal tetapi di sisi yang lain AI dapat melemahkan daya kritis dan kreatifitas seseorang.

Sesi ini diakhiri dengan foto bersama dan bersalam-salaman, setelah itu mereka kembali kerumah atau kos-nya masing-masing dengan membawa bekal pengetahuan yang mereka peroleh dari kedua narasumber yang sangat luar biasa. Harapanya, agar kegiatan ini terus berlanjut dan semoga apa yang mereka dapatkan hari ini dapat bermanfaat untuk hidup mereka.

Seminar ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan, ada orangtua, orang muda, dan anak-anak. Jumlah mereka mencapai hampir 50 orang. (Kontributor Fr. Theofilus Woi, CMF, teologan tingkat VI Komunitas Kuria Claretian Kupang)

Galeri Foto

Pengikraran Kaul Perdana Fr. Rudyanto Meo, CMF

Benlutu, Timor Tengah Selatan. Hawa sukacita kembali menyelimuti Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste. Pasalnya, novis Rudyanto Meo, baru saja mengikrarkan Kaul-kaul Kebiaraan untuk pertama kalinya pada Sabtu (1/3/2025). Upacara Pengikraran Kaul Perdana ini dipimpin langsung oleh P. Valens Agino, CMF, Superior CMF Indonesia-Timor Leste di Kapela Novisiat Claretian Benlutu.

Pada awal permenungannya, P. Valens Agino, CMF sempat bertanya kepada Rudyanto Meo perihal memgapa dia memilih teks Yes 7:1-9 dan Mat 25:14-30 dalam rangka meriahrayakan upacara kaul-nya. Rudyanto Meo pun menjawab bahwa dari bacaan pertama, dia belajar tentang percaya pada Tuhan. Sedangkan dari bacaan Injil, dia belajar tentang menjadi orang yang bertanggungjawab seperti orang yang dikaruniai lima dan dua talenta.

Mengomentari bacaan Injil, menurut P. Valens Agino, CMF, mengajak sekalian umat Allah untuk menghargai setiap pemberian yang datang dari Allah. Perihal rahmat atau anugerah Allah bukan soal banyak-sedikit atau besar-kecilnya pemberian itu, tetapi tentang bagaimana seseorang memberikan penghargaan terhadap rahmat atau anugerah yang dipercayakan kepada setiap orang.

Terhadap rahmat Allah ini, P. Valens Agino, CMF mengapresiasi keteguhan hati dari saudara Rudyanto Meo. Sebagaimana diketahui bahwa saudara Rudyanto Meo memiliki kisah panggilan yang berbeda sehingga dia diminta untuk tinggal lagi di novisiat. Dengan keteguhan hati untuk tetap tinggal di novisiat, saudara Rudyanto Meo menghargai rahmat panggilan yang Tuhan berikan kepadanya. P. Valens Agino, CMF berharap agar saudara Rudyanto Meo bisa melipatgandakan panggilan Tuhan dengan jawaban atas panggilan itu.

“Ini dukungan doa kami untuk Rudy. Untuk pengikraran kaul adalah rahmat yang besar. Hargailah yang Tuhan berikan, biar kecil tapi kita punya kewajiban untuk melipatgandakan rahmat Tuhan”, katanya

Setelah merenungkan Sabda Tuhan, saudara Rudyanto Meo kemudian tampil ke hadapan altar untuk mengikrarkan kaul perdananya. Janji setia untuk hidup murni, miskin, taat seperti Kristus diterimakan oleh P. Valens Agino, CMF disaksikan oleh semua umat Allah yang hadir.

Selepas mengucapkan janji setia, saudara Rudyanto Meo pun diberikan jubah kebiaraan. Momen haru pun pecah tatkala saudara Rudyanto Meo memasuki kapela dengan mengenakan jubahnya. Mama dan segenap keluarga yang hadir tidak mampu membendung air mata sukacita melihat anak mereka berlangkah dengan gagah mengenakan jubah. Setelah itu, saudara Rudyanto Meo menerima Konstitusi sembari berjanji untuk hidup sebagai seorang Claretian berdasarkan aturan dan norma yang berlaku di dalam Kongregasi.

Dengan mengenakan jubah dan menerima konstitusi, Fr. Rudyanto Meo, CMF secara resmi diterima sebagai anggota Kongregasi Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria, dan berhak menambahkan inisial “CMF” di belakang namanya.

Pengikraran kaul perdana ini merupakan langkah awal dari serangkaian hidup yang diambil oleh Fr. Rudyanto Meo, CMF setelah melewati masa formasi dan persiapan spiritual yang mendalam di Novisiat. Dalam kaul perdana ini, Fr. Rudyanto Meo, CMF berjanji untuk hidup dalam kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan, serta berkomitmen untuk melayani Tuhan dan Gereja melalui Kongregasi Misionaris Claretian. Perayaan Ekaristi Pengikraran Kaul Perdana ini dihadiri oleh beberapa misionaris Claretian yang berkarya di Kupang; RD. Herman Hilers Penga, Pr selaku Pastor Paroki Benlutu; P. Petrus Dami Tasaeb, CMF dari Paroki Panite; keluarga besar Fr. Rudyanto Meo, CMF; dan segenap umat Allah yang ada di sekitaran Novisiat Claretian Benlutu.

Dalam suasana penuh doa dan harapan, semuanya mendoakan agar Fr. Rudyanto Meo, CMF dapat menjalankan panggilannya dengan setia, bebas, dan bahagia sehingga menjadi cahaya bagi dunia melalui pelayanan kasih yang dilaksanakannya. Profisiat untuk Fr. Rudyanto Meo, CMF.

Galeri Foto

Tahbisan Imam dan Diakon CMF dan M.SS.CC

Lasiana, Kupang. Aura di Aula Claret pada Sabtu (22/2/2025) penuh dengan sukacita. Irama dan lagu yang getar membahana mengantar diakon dan para frater menuju Altar Tuhan guna menerima Sakramen Tahbisan dari tangan Mgr. Hironimus Pakaenoni.

Diakon dan frater yang menerima tahbisan masing-masing tahbisan imam dan tahbisan diakon adalah Diakon Gabriel Dion Klau, CMF; Fr. Albinus Boleng Lonek, CMF; Fr. Arnoldus Yansen Feka, CMF; Fr. Bernardino Vicente Siki, CMF; Fr. Falenrius Nderi, CMF; dan Fr. Felisianus Melkior Temu, M.SS.CC.

Bertepatan dengan Pesta Tahta St. Petrus, dalam homilinya, Mgr. Hironimus Pakaenoni mengingatkan umat Allah yang hadir untuk meneladani iman, kesetiaan, dan pelayanan St. Petrus.

Mgr. Hironimus Pakaenoni mengingatkan bahwa para calon tertahbis mestinya merasa dekat dengan Kristus. Baginya, pertanyaan Yesus terkait “Siapah Aku ini?” (Mat 16:15) juga merupakan pertanyaan yang ditujukan kepada para calon tertahbis. Pertanyaan ini mengundang masing-masing orang untuk memberikan jawaban pribadi kepada Yesus. Jawaban masing-masing merupakan pengakuan iman pribadi atas Yesus.

Seperti halnya Petrus yang mendapat kepercayaan setelah memberikan jawaban pengakuan imannya, para calon tertahbis juga niscaya akan mendapatkan tugas dan tanggungjawab penggembalaan dari Tuhan sendiri: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”.

Sebagai aplikasinya, Mgr. Hironimus Pakaenoni juga mengingatkan para calon tertahbis akan tantangan dunia yang sering datang tanpa disadari. Seperti halnya Petrus, seseorang bisa saja jatuh dalam kebimbangan dan ketidakpercayaan. Namun, lanjutnya, seorang pengikut Yesus tidak perlu takut. Yesus sendiri pernah bersabda bahwa Dia sendiri telah berdoa akan iman pengikut-Nya tidak luntur (Luk 22:32). Kata-kata Yesus ini memberikan cahaya, kekuatan, dan peneguhan bagi Petrus dan penerus tahtanya, dan tentu untuk mereka yang mengambil bagian dalam karya pertusan, pelayanan, dan penggembalaan di dalam Gereja, terutama untuk para calon iman dan diakon.

Setelah menutup homilinya, Mgr. Hironimus Pakenoni mengajak para calon tertahbis untuk percaya bahwa Kristus yang telah memanggil mereka, justru sudah mendoakan mereka agar iman mereka tidak gagal. Doa Yesus ini niscaya menjadi kekuatan bagi para calon tertahbis dalam menjalankan tugas perutusan selanjutnya.

 Setelah menyampaikan homilinya, Perayaan Ekaristi dilanjutkan dengan upacara tahbisan. Upacara tersebut mula-mula dimulai dengan pemanggilan nama dari para calon, lalu dilanjutkan dengan penyelidikan terkait kesediaan para calon dan ucapan janji setia dihadapan Uskup dan pemimpin Kongregasi. Upacara tahbisan kemudian dilanjutkan dengan Litani Para Kudus, Doa Tahbisan masing-masing untuk calon diakon dan calon imam, penerimaan stola-dalmatik untuk diakon dan stola-kasula untuk imam baru dan ditutup dengan penerimaan minyak untuk calon imam.

Misa tahbisan ini dihadiri oleh ratusan umat Allah, baik keluarga imam baru dan diakon baru, maupun kaum biarawan-biarawati dan umat awam. Misa tahbisan ini dirayakan dengan penuh iman dan damai. Selamat bertugas untuk pater dan diakon yang baru ditahbiskan. Semoga rahmat yang diterima secara cuma-cuma, dibagikan juga secara cuma-cuma kepada semua orang yang ditemui di medan misi!

Galeri Foto

Kursus Bagi Kaum Hidup Bakti Yuniorat 2025 bersama P. Agustinus Supur, CMF

Kupang, Indonesia. Pada Jumat (14/2/2025), Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali menggelar kursus untuk kaum hidup bakti yuniorat. Kursus tersebut akan dilaksanakan setiap bulan dengan materi-materi yang menarik, terhitung mulai Februari hingga Juni 2025.

Pada kesempatan pertama di bulan Februari, kursus dibuka dengan materi yang dibawakan oleh P. Agustinus Supur, CMF. Tema yang dibahas dalam kursus kali ini adalah “Kaul-kaul Kebiaraan: Spiritualitas dan Praktek Menuju Komitmen yang Definitif”.

Dalam pemaparannya, P. Agustinus Supur, CMF menuturkan bahwa Hidup Baktu dilihat sebagai hidup seseorang. Itu artinya, hidup bakti tidak sekadar tentang masuk kapela, menggunakan jubah, tinggal di biara, dan lain sebagainyanya. Tetapi lebih kepada sebuah proses harian yang dilaksanakan seseorang secara setia dan penuh komitmen.

Dengan demikian, dengan berbicara tentang spiritualitas kaul-kaul kebiaraan, berarti membicarakan tentang keputusan bebas dan tentang komitmen hidup seseorang untuk mengikuti dan menyerupakan diri dengan Kristus yang murni, miskin, dan taat. Ketiga kaul tersebut, bukanlah tujuan, melainkan sarana bagi seseorang untuk menanggapi panggilan Tuhan.

Namun, perjalanan hidup setiap orang tentu berbeda-beda. Bagi P. Agustinus Supur, CMF, orang-orang masuk biara dengan situasi diri mereka masing-masing, dengan karakter antropologisnya sendiri-sendiri, dan dengan pola kemanusiaan yang unik dan berbeda. Untuk itu, panggilan yang diterima seseorang digambarkannya seperti benih yang jatuh di berbagai tempat (Mat 13:1-13), ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di pinggir jalan, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di tanah berbatu, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di semak duri. Itu semua terjadi karena panggilan itu tidak berakar jauh sampai humus Hidup Bakti, yakni mencintai Tuhan dengan hati yang utuh. Dan pada akhirnya, ada panggilan yang seperti benih yang jatuh di tanah yang baik.

Selain itu, dalam presentasinya, P. Agustinus Supur, CMF mengungkapkan bahwa hidup bakti sebagai kata kerja, yakni kesatuan proses dan perbuatan mengikuti Kristus dan menyerupakan diri dengan Kristus. Untuk itu, bilamana membicarakan spiritualitas kaul-kaul kebiaraan, artinya bicara tentang proses dan tindakan terencana dan terpola terkait penyerupaan diri dengan Kristus yang Murni, Miskin, Taat.

Menurutnya, mengikuti dan menyerupakan diri dengan Kristus merupakan proses dan tindakan harian yang bersifat terencana dan terpola, yakni tentang kesadaran atau kepekaan seseorang untuk mendarahdagingkan kaul-kaul dalam diri. Untuk itu, kaul-kaul bukan sekadar statement biasa, tetapi merupakan sebuah pengakuan iman.

Kursus untuk yuniorat hidup bakti 2025 ini diikuti oleh berbagai Kongregasi dan Tarekat, baik frater, bruder, dan suster, yang tersebar di seluruh dunia. Para peserta kursus mengikutinya dengan penuh antusias dan penuh perhatian.

Galeri Foto

Webinar KOPTARI: Menjadi Gereja Pengharapan bagi Perdamaian Dunia

Kupang, Indonesia. Pada Senin (10/2/2025), KOPTARI (Konferensi Pemimpin Tinggi Tarekat Religius Indonesia) sukses menyelenggarakan webinar dalam rangka Yubileum Tarekat Hidup Bakti, yang dihadiri oleh ratusan kaum hidup bakti dari berbagai Kongregasi dan Tarekat di seluruh Indonesia. Tema yang diangkat dalam webinar kali ini adalah “Peziarah Harapan dalam Perjalalanan Menuju Perdamaian”. Webinar ini menghadirkan dua pembicara utama yang sangat dihormati, yaitu Uskup Ignatius Kardinal Suharyo dan P. Valens Agino, CMF.

Pada kesempatan pertama, Bapa Kardinal membawakan materinya berjudul “Gereja sebagai Komunitas Pengharapan”. Dalam pemaparannya, beliau meninjau tentang “pengharapan”. Menurutnya, harapan tidak bisa disamakan begitu saja dengan optimisme. Landasan optimis adalah perhitungan-perhitungan manusiawi, sedangkan landasan harapan adalah iman. Dengan menjadikan iman sebagai landasan harapan, kata Rasul Paulus, bahwa Allah yang memulai pekerjaan yang baik, akan meneruskannya sempai pada hari Kristus Yesus (Flp 1:6). Artinya, Allah yang memulai, Allah yang akan menyelesaikannya.

Terkait pekerjaan Allah ini, Kardinal Suharyo melihat bahwa semua karya Allah adalah sungguh amat baik. Terbukti bahwa sejak awal penciptaan, Allah selalu mengatakan bahwa semua ciptaan-Nya adalah baik adanya. Kemudian di akhir Alkitab, yakni pada Kitab Wahyu, Allah sendirilah yang menyempurnakan karya agung-Nya. Jadi, di awal dan di akhir, Allah selalu menjadikan segala sesuatu baik adanya.

Dalam presentasinya juga, Bapa Kardinal, mengutip Paus Fransiskus, mengajak Gereja untuk menjadi Gereja yang peduli. Dengan peduli, Gereja justru menunjukkan wajah Gereja yang bergerak dan terlibat. Terdapat beberapa wilayah keterlibatan Gereja, yakni hormat terhadap martabat manusia, memastikan kebaikan bersama (bonum commune), solidaritas, dan merawat alam ciptaan.

Kemudian, setelah mendengarkan materi dari Bapa Kardinal, para peserta disuguhkan dengan materi yang dibawakan oleh P. Valens Agino, CMF. Judul materinya adalah “Peziarah Harapan dalam Perjalanan Menuju Perdamaian”. Inspirasi materinya didasarkan pada Kitab Kidung Agung. Baginya, peziarah harapan itu layaknya seorang kekasih yang mencari jantung hatinya. Kekasihnya lebih penting daripada pekerjaan, kebun anggur, dan keluarganya, termasuk dirinya sendiri. Artinya, menurut refleksi P. Valens Agino, CMF, kaum hidup bakti pun mesti terus bertualang tanpa putus asa dan tanpa putus harapan untuk terus mencari Dia.

Selain itu, sesuai dengan tema yang dibahas, P. Valens Agino, CMF menuturkan bahwa untuk menjadi pembawa perdamaian, seorang kaum hidup baktu tidak harus menjadi orang besar dan memiliki posisi atau jabatan yang tinggi. Menurutnya, menjadi diri sendiri sudah lebih dari cukup untuk membawa perdamaian kepada dunia. Secara biblis, terdapat beberapa inspirasi, yakni menjadi seperti “sisa Israel” yang diselamatkan Tuhan karena selalu bersandar setia pada Tuhan; menjadi biji sesawi yang meski kecil namun bertumbuh menjadi pohon yang besar; menjadi bayi mungil dan ibu hamil yang bisa mengalahkan raja dan naga besar; dan menjadi seekor Anak Domba yang disembelih dan menang atas naga besar dan binatang buas. Baginya, menjadi kecil bukan berarti kaum hidup bakti tidak bisa menjadi pelopor di jalan menuju perdamaian.

Webinar ini ditutup dengan tanggapan dan pertanyaan dari para peserta. Mereka semua mengikuti dengan antusias, memberikan tanggapan positif atas materi yang disampaikan dan diskusi yang diadakan setelah sesi presentasi.

Galeri Foto

Pekan Hidup Bakti XV 2025: Menghayati Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian Hidup Bakti dalam Dunia VUCA

Kupang, Indonesia. Tahun 2025 ini, Delegasi Independen Indonesia-Timor Leste kembali mengadakan Pekan Hidup Bakti (PHB) edisi ke-15. Tema yang diangkat dalam PHB XV kali ini adalah “Menghayati Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian Kaum Hidup Bakti dalam Dunia VUCA”. Kata “VUCA” dalam tema ini merupakan akronim dari Volatility (ketidakstabilan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan).

Pada PHB XV 2025 kali ini, yang bertindak sebagai pembicara adalah P. Valens Agino, CMF; P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF; P. Sabu George Palackathadathil, CMF; P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF; P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF; dan Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Kegiatan ini dimoderasi oleh P. Reneldus Maryono Paing, CMF.

Hari Pertama

Pada hari pertama, materi diberikan oleh P. Valens Agino, CMF dan P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF. Pada kesempatan pertama, P. Valens Agino, CMF memaparkan materinya perihal Dunia VUCA dan Hidup Bakti. Dunia VUCA merupakan suatu keadaan lingkungan yang mampu berubah-ubah dengan cepat, tidak terduga, dan sulit terkontrol.

Kemunculan dunia VUCA juga mempengaruhi hidup bakti. Misalnya, proyek pribadi dan proyek komunitas yang tidak punya visi jangka panjang serta komitmen pribadi yang ikut mood (volatility), mentalitas instan tanpa pendirian dan takut mengalami penderitaan (uncertainty), kerumitan dalam mempertahankan diri secara ekonomi (complexity), dan kebebasan menginterpretasi konstitusi, spiritualitas, dan karisma Kongregasi (ambiguity).

Menurut P. Valens Agino, CMF, pengaruh buruk dunia VUCA dalam hidup bakti bisa dilawan dengan VUCA pula, yakni vision yang jelas akan panggilan, karisma dan spiritualitas dan motivasi hidup membiara; understanding yang jelas akan panggilan, karisma, dan motivasi hidup membiara; courage untuk bersikap dan mengambil resiko sesuai nilai-nilai kehidupan membiara; dan adaptability yakni terbuka tanpa mengorbankan nilai-nilai inti kehidupan membiara.

Tambahnya, budaya penegasan spiritual (Discernment spiritual) sangat membantu kaum hidup bakti dalam menghadapi semua model perubahan yang terjadi dalam dunia. Mengutip Paus Fransiskus dalam dokumen Gaudete et Exultate, penegasan spiritual memampukan kaum hidup bakti untuk membedakan yang dari Roh Allah dan yang dari roh dunia. Penegasan spiritual ini lebih dari sekadar kemampuan intelektual dan akal sehat, tetapi juga rahmat yang dimohonkan. Dan penegasan spiritual ini merupakan sarana perjuangan kaum hidup bakti untuk mengikuti Tuhan dengan lebih baik.

P. Valens Agino, CMF juga menambahkan empat tawaran perjalanan spiritual untuk dunia dewasa ini, sebagaimana yang direfleksikan oleh José Cristo Rey García Paredes, CMF dan Gonzalo Fernández Sanz, CMF, yakni adoratio yang berarti perjalanan dari penyembahan berhala menuju iman; missio yang berarti pejalanan dari funsionalisme menuju mistisisme misioner; conversatio yang berarti perjalanan dari isolasi menuju mendengarkan dengan cermat dan berbagi; dan traditio-conversatio yang berarti perjalanan dari kemandirian menuju penyerahan diri.

Setelah itu, para peserta disuguhkan dengan materi dari P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF. Materi tersebut diberi judul “Konsekrasi, Kesetiaan, dan Kesaksian dalam Sejarah Hidup Bakti”. Dalam materinya, P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF menjelaskan secara umum tiga hal penting perjalanan kaum hidup bakti dalam rel konsekrasi, kesetiaan, dan kesaksian, sebagaimana dijelaskan oleh W. Bruggemann dalam buku Spirituality of the Psalms, yakni Orientasi, Disorientasi, dan Re-Orientasi.

Dalam orientasi, kaum hidup bakti sungguh-sungguh diberi pengertian bahwa perjalanan panggilannya merupakan pembaktian diri kepada Kristus sebagai sebuah sikap aktif. Untuk itu, sikap dasar dalam orientasi ini adalah Sequela Christi (mengikuti Kristus), yakni ekspresi lahiriah dalam sikap dan keputusan yang menyatakan kehendak untuk mengikuti Kristus; dan Imitatio Christi (Meniru Kristus), yakni segala usaha untuk meneladani dan mendalami pribadi Yesus secara moral maupun mistikal (kemiskinan, ketaatan, kemurnian, rendah hati, dan lain-lain).

P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF juga menyatakan bahwa dalam sejarahnya, kaum hidup bakti seringkali mengalami disorientasi, yakni kondisi di mana kaum hidup bakti tidak lagi hidup selaras dengan cita-cita ordo atau kongregasi. Dalam arti tertentu, disorientasi hendak menjelaskan kondisi kaum hidup bakti yang mengalami krisis, ketidakpastian, atau chaos.

Menurutnya, berhadapan dengan situasi disorientasi ini, terdapat dua cara pandang yang berbeda. Ada yang menganggap pengalaman disorientasi sebagai pengalaman aib (moment of disgrace) yang kemudian selalu mempertanyakan tentang relevansi hidup bakti di masa kini dan di masa yang akan datang. Namun, ada pula yang menganggap pengalaman disorientasi sebagai pengalaman berkat (moment of grace) yang mana krisis, ketidakpastian, atau chaos ditanggapi secara dewasa, dilihat dalam kacamata positif, dan undangan kepada pertobatan dan pembaruan hidup.

Berhadapan dengan krisis, ketidakpastian, atau chaos, P. Kristian Paskalis Cangkung, CMF mengungkapkan bahwa kaum hidup bakti, mau tidak mau, harus membuat reorientasi, yakni suatu langkah baru pasca mengalami disorientasi. Reorientasi ini dilandasi oleh iman yang mendalam akan kesetiaan serta belaskasih Allah. Reorientasi ini mesti ditanggapi dengan aksi penataan kembali tatanan hidup secara personal dan komunitas, discerning leadership, keterbukaan terhadap gerakan roh, kreatif, inspiratif, mistik, dan profetik.

Hari Kedua

Pada hari kedua, para peserta PHB XV 2025 mendapat kesegaran dari materi yang dibawakan oleh P. Sabu George palackathadathil, CMF dan P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF. Pada kesempatan pertama, P. Sabu George Palackathadathil, CMF membawakan materi berjudul “Konsekrasi dan Kesaksian dari Sudut Pandang Teologi Hidup Bakti”. Dalam pemaparannya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF mengingatkan bahwa menjalani panggilan sebagai kaum hidup bakti merupakan perjalanan hidup yang dikonsekrasikan kepada Allah. Konsekrasi berarti penyerahan diri secara bebas kepada Allah yang telah memanggil.

Dengan pengertian tersebut, lanjutnya, maka konsekrasi dalam hidup bakti berarti dipisahkan, disucikan, bersih dan memulai awal yang baru, menjadi pribadi yang baru sepenuhnya bagi Tuhan. Dengan demikian, kaum hidup bakti menyatakan hidup mereka lewat kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan. Dengan menerima cara hidup ini, mereka memiliki sarana untuk mencapai persatuan yang lebih sempurna dengan Allah sekaligus menjadi saksi persatuan yang sempurna di kehidupan yang akan datang.

Kemudian, P. Sabu George Palackathadathil, CMF juga mengingatkan akan kesaksian kaum hidup bakti. Pada bagian ini, P. Sabu George Palackathadathil, CMF menekankan kesaksian kaum hidup bakti dalam dimensi kenabian. Hal ini disebutkannya karena kaum hidup bakti sejatinya rasa profetis harus selalu ditonjolkan kepada dunia yang semakin hari semakin sulit melihat tanda-tanda kehadiran Allah.

Mengakhiri presentasinya, P. Sabu George Palackathadathil, CMF menunjukkan beberapa contoh tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kaum hidup bakti. Tantangan-tantangan tersebut adalah permasalahan keluarga, komunitas, kesehatan, hidup doa, ekonomi, formasi, kepribadian ganda, dan media sosial.

Materi PHB XV 2025 hari kedua dilanjutkan dengan presentasi dari P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF. Judul makalah yang dipaparkannya adalah “Tinggallah di Dalam Kasih-Ku (Yoh 15:9): Menghidupi Komitmen Kemuridan-Misioner di Tengah Tantangan Dunia VUCA dalam Terang Dokumen Karunia Kesetiaan Sukacita Ketekunan”.

Dalam materinya, P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF berpatokan pada dokumen Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan di Vatikan pada 2 Februari 2020 silam. Diungkapkannya bahwa dokumen tersebut mengutarakan keprihatinanya sekaligus memberi pesan yang kaya bagi kaum hidup bakti. Pesan yang kaya dari dokumen tersebut hendak mengajak kaum hidup bakti agar semakin setia dan bertekun dalam menghidupi panggilan dan komitmen kemuridan yang telah dipilihnya.

Dalam menghidupi panggilan hidup bakti, lanjutnya, kaum hidup bakti justru menemukan begitu banyak ilalang yang memengaruhi proses tumbuh kembang seorang religius untuk setia pada jalan panggilannya. Beberapa hal yang disebutkan adalah pengalaman iman yang memudar; budaya fragmentaris-terpecah-pecah dan sementara; institusi hidup bakti yang kurang terbuka pada gerakan Roh Kudus; kurangnya pengolahan hidup berhadapan dengan individualisme, spiritualisme, hidup dalam dunia sempit, kecanduan, kemapanan dan lain-lain; dan relasi interpersonal dan komuniter yang sulit.

Akan tetapi, kendati ada begitu banyak ilalang yang menggerogoti kehidupan kaum hidup bakti, P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF mengajak para peserta untuk menemukan pijakan tentang karunia kesetaan dan sukacita ketekunan dalam kisah kemuridan sehari-hari. Dengan demikian, kaum hidup bakti diajak untuk berani mengimpikan kesetiaan Sang “Ya” bagi semua janji Allah dan setia-bertekun pada panggilan hidup sehari-hari.

Untuk mewujudkan semua itu, mau tidak mau, setiap kaum hidup bakti harus merawat hidup doa dengan tekun; ber-discerment serta terbuka kepada belas kasih dan kerahiman Allah; menghidupi komunitas dengan baik; melaksanakan pelayanan kerasulan yang kreatif; dan membangun formasi yang solid dan menyentuh hati. Semua hal yang dilakukan itu, bagi P. Yoseph Ferdinandus Melo, CMF, merupakan upaya untuk selalu tinggal dalam kasih Tuhan. Tinggal dalam kasih Tuhan, lanjutnya, merupakan momen menyambut kesetiaan-Nya dan merupakan kekuatan panggilan kaum hidup bakti.

Hari Ketiga

Kemudian pada hari ketiga, para peserta disuguhkan dengan materi yang dibawakan oleh P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF; dan Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Pada kesempatan pertama, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF membawakan materinya yang berjudul “Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan dalam Perspektif Hukum Gereja”.

Mula-mula, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF menguraikan materinya dengan mengupas dokumen Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan. Diungkapkannya bahwa dokumen ini dikeluarkan sebagai upaya Vatikan dalam menanggapi tantangan hidup bakti di hadapan dunia yang semakin sekuler. Dihadapan dunia yang semakin sekuler ini, Paus Fransiskus khawatir akan memudarnya kesetiaan dari kaum hidup bakti!

Untuk itu, dari dokumen yang sama, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF mengajak para peserta untuk menghidupi kembali kesadaran akan panggilan masing-masing. Kesadaran akan panggilan menjadi sarana yang baik bagi kaum hidup bakti untuk menghidupi kembali kesetiaannya akan panggilan dihadapan tawaran dunia sekuler yang semakin menggila.

Menurutnya, karunia kesetiaan termanifestasikan dalam sukacita ketekunan. Dan sukacita itu bersinar di wajah mereka yang membaktikan hidupnya secara total kepada Allah. Mengutip Paus Fransiskus, sukacita menjadi kebutuhan dan landasan hidup manusia. Demikian pula kaum hidup bakti mesti selalu menghidupkan sukacita panggilan mereka dalam hidup sehari-hari, karena seorang hidup bakti telah menanggapi panggilan Tuhan, memilih kasihNya dan untuk memberikan kesaksian tentang InjilNya dalam pelayanan Gereja.

Pada bagian lain dari presentasinya, P. Viktor Doddy Sau Sasi, CMF memaparkan materi tentang keterpisahan anggota hidup bakti dari tarekatnya yang dilihat dari kacamata Hukum Gereja sebagaimana tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik. Dua hal yang dibagikan terkait hal ini adalah perpindahan ke tarekat lain dan tentang keluar dari tarekat. Kedua hal ini dibicarakan menurut hukum yang berlaku sah dalam Gereja.

Kemudian, materi hari ketiga dilanjutkan dengan presentasi materi dari Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB. Dalam pemaparannya, Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB mempresentasikan materinya dengan judul “Kesaksian dan Kesetiaan Elisabeth Gruyters dalam Menghayati Hidup Bakti”.  

Dalam kesaksiannya terkait hidup dari Elisabeth Gruyters, Sr. Rosaria Nur Hardiningsih, CB menuturkan bahwa Elisabeth Gruyters adalah seorang yang sungguh hidup dekat dengan Allah. Kesetiaan Elisabeth Gruyters adalah tanda kedekatannya dengan Allah. Bagi Elisabeth Gruyters, hidup bakti berarti menjadikan Allah sebagai pemimpin utama dalam hidup. Di hadapan Allah, yang dapat dilakukannya hanyalah menyerahkan diri seutuhnya kepada kehendak-Nya dan tetap bertekun dalam doa. Kedekatan dengan Allah menjadi sarana utama bagi Elisabeth Gruyters untuk menjaga panggilan hidup baktinya. Seperti kata Pemazmur, hanya dekat Allah saja aku tenang (Maz 62:2).

PHB XV 2025 kali ini diadakan secara online via aplikasi zoom yang berlangsung selama tiga hari, yakni pada 30 Januari 2025 sampai 1 Februari 2025. PHB XV 2025 ini diikuti oleh kaum hidup bakti dari berbagai Kongregasi atau Tarekat hidup bakti baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia. Para peserta PHB XV 2025 diikuti oleh semua tingkatan, mulai dari aspiran, postulan, novis, yang berkaul sementara, yang berkaul kekal, hingga imam.

Galeri Foto