Oebobo, Kupang. Jaringan Solidaritas Kemanusiaan Nusa Tenggara Timur (NTT) mengundang secara terbuka Semua elemen masyarakat yang mencintai kemanusiaan dan keadilan untuk melakukan Aksi Bakar Lilin Bersama Menentang Putusan Bebas Majikan Adelina Sau dan Memperingati Hari Anti Penyiksaan Sedunia.
Aksi bakar lilin ini berlangsung di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur pada Sabtu, 02 Juli 2022. Adapun agenda yang dilakukan adalah pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu nasional, orasi, pernyataan sikap dan doa bersama. Aksi ini dilaksanakan sebagai wujud kepedulian sekaligus respon terhadap tindak kekerasan yang dialami oleh para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia.
Kejahatan kemanusiaan telah menimbulkan luka dan trauma mendalam bagi korban sendiri, keluarga dan juga rakyat yang masih memiliki nurani. Adelina Lisao/Sau, PMI asal Kab. TTS, NTT disiksa dan diperlakukan seperti binatang oleh majikannya, Ambika MA Shan di Malaysia, hingga kemudian meninggal dunia secara menggenaskan pada 11 Februari 2018.
Proses persidangan terhadap majikan Adelina berlangsung tarik ulur di Malaysia. Hingga pada 23 Juni 2022 Mahkamah Tinggi Malaysia menjatuhkan putusan bebas pada majikannya. Berbeda dengan proses peradilan di Indonesia sindikatnya malah telah terpenjara.
Kembali ke tahun 2015 silam, Mariance Kabu, salah satu PMI asal TTS, NTT mengalami kekerasan luar biasa oleh majikannya, Ong Sung Ping Serene di Malaysia. Walaupun selamat dari maut, tapi luka dan trauma masih dirasakan Mariance hingga saat ini. Majikannya sempat diproses secara hukum, namun tidak ada kejelasan putusan hukum hingga hari ini. Itu berarti majikannya masih bebas berkeliaran.
Keputusan ini mengiris hati dan memicu kemarahan publik. Seolah-olah tak puas dengan mengirim jenazah pekerja migran Indonesia asal NTT hampir setiap hari, Malaysia malah memvonis bebas majikan yang tangannya berdarah.
Aksi solidaritas kemanusiaan yang menuntut keadilan bagi keluarga Adelina Sau berjalan damai. Aksi ini dibuka dengan doa yang dibawakan oleh Sr. Maria Funan, RVM, kemudian diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Pada tempat pertama, Pdt. Emmy Sahertian menyampaikan sambutannya untuk menyemangati para relawan yang berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan. Pdt. Emmy meminta semua orang untuk tidak lupa melibatkan Tuhan di dalam setiap aksi kemanusiaan sebab jika tanpa Tuhan apa yang dilakukan tidak berarti apa-apa.
“Tanpa doa dan refleksi, perjuangan itu tidak bernyawa. Hari Anti Kekerasan Internasional kita rayakan mengingat provinsi NTT tidak luput dari kekerasan. 1000 lilin bagi perjuangan bagi kobaran kekerasan. Kasus Adelina Sau. Dipekerjakan tanpa hak yang jelas. Disiksa dan ditidurkan bersama anjing”, ungkap Pdt. Emmy dalam sambutannya.
Selanjutnya, pendeta kelahiran Kupang, 27 Desember 1957 ini menegaskan bahwa keputusan bebas bagi mantan majikan Adelina Sau adalah suatu tamparan keras bagi Indonesia dan NTT. Pdt. Emmy juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah merdeka namun dengan kekerasan yang dialami oleh para TKW seolah membuat negara Indonesia belum merdeka.
Dua kasus kekerasan TKW yang dialami oleh para TKW asal NTT patut mendapat perhatian dari pemerintah daerah agar tidak lagi meloloskan para TKW ke luar negeri. Kasus yang menimpa Mariance Kabu yang siksa hingga menjadi cacat merupakan catatan suram bagi pemerintah NTT.
Kasus terakhir adalah tentang penyiksaan terhadap ibu dan anak di NTT yang sedang hangat adalah kasus pembunuhan Astrid dan Lael. Ini merupakan kasus bersama yang perlu dicari jalan keluarnya. NTT harus menjadi tempat aman bagi perempuan dan anak. Jika tidak maka kita bagian dari penindasan. Semua warga negara Indonesia wajib berteriak bersama untuk keadilan.
“Kita ikut merasakan kehilangan bersama keluarga. Doa kita menguatkan keluarga agar tidak merasa sendiri. Ini penghinaan terhadap ciptaan Tuhan. Kejadian ini seperti.menampar pipi bangsa Indonesia” demikian kata Pdt. Emmy.
Setelah sambutan dari Pdt. Emmy, acara dilanjutkan dengan mendengarkan kesaksian pengalaman pahit yang diderita oleh Mariance Kabu selama delapan bulan bekerja di Malaysia.
Mariance Kabu adalah Korban. Ia mengalami sendiri bagaimana ia diperlakukan tidak manusiawi selama di Malaysia. Ia sangat sedih menghadapi kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Mereka yang disiksa tidak ada yang mampu menolong selain dari Tuhan.
“Kita berduka bersama keluarga Adelina, sebab kita semua juga adalah korban. Jangan hanya diam ketika mendengar keputusan bebas mantan majikan Adelina Sau. Kita tidak boleh ada ketakutan dalam hati sebab di dalam hati kita ada Tuhan”, tukasnya.
Menurut pengakuan Mariance bahwa pada pertama kali kerja harus ditandatangani perjanjian untuk tidak melarikan diri dan pindah majikan. Jika hal itu dilanggar maka maut akan merenggut mereka. Kendati disiksa hingga mandi darah mereka harus tetap setia bekerja pada majikan yang sama.
“Ada perjanjian yang harus kami ditandatangani. Kami tidak boleh tukar majikan. Meski mandi darah setiap hari. Di tangan majikan hanya penyiksaan. Dan banyak TKW ketika kembali hanya peti mayat. Kami tidak pernah duduk di kursi. Selalu duduk di lantai dengan anjing. Kami memilih duduk dilantai saja yang penting tidak disiksa dan dipukul”, ungkap Mariance
Tidak ada yang mampu membebaskan mereka dari majikan yang kejam. Dalam kesaksiannya, ia sempat menyentil bahwa kalau semua kaya maka tidak ada yang mengemis dan kalau semua miskin tidak ada yang berbagi.
Sementara itu, P. Selestinus Panggara, CMF, yang mewakili kelompok religius dan saudara-saudari dari agama Katolik, juga turut menyampaikan isi hatinya terkait peristiwa yang menimpa Adelina Sau
“Mewakili kelompok religius dan teman Kristen Katolik. Saya mengucapkan turut berdukacita atas kematian Adelina Sau yang meninggal akibat tindakan perdagangan orang. Rasa prihatin yang mendalam kepada korban atas tindak kekerasan yang dialaminya”, kata P. Seles, CMF selaku koordinator SOMI Claret.
Pastor dari Kongregasi Para Misionaris Putra-putra Hati Tak Bernoda Maria ini juga mengungkap bahwa ada banyak saudara-saudari yang mengadu nasib demi keluarga tetapi mereka diperlakukan seperti bintang. Mereka disiksa secara membabi-buta tanpa alasan yang jelas. Untuk itu, P. Seles meminta agar semua pihak mau memperhatikan nasib dari saudara-saudari yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri. Beliau juga menyemangati para relawan kemanusiaan yang hadir untuk terus mendesak pemerintah agar menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan yang dialami oleh para pekerja migran.
“Hal ini sangat menyayat hati. Semua agama menjunjung tinggi nilai luhur manusia. Dimaki saja sakit, apalagi mengalami kekerasan fisik yang luar biasa. Jangan diam. Kita harus berjuang bersama-sama. Para pemimpin terus berjanji untuk melibas semua orang yang terlibat dalam perdagangan orang. Meskipun sedikit tapi jika berjuang maka akan ada hasil jika pemerintah diam.
Tini, yang berasal dari Rumah Milenial Indonesia (RMI), mengungkapkan bahwa dalam hal keadilan tidak boleh memandang agama.
“Tidak boleh memandang agama apa pun. Setiap orang berhak untuk hidup aman” demikian sambutan singkat dari Tini mewakili suara orang Islam.
Acara pembakaran lilin tersebut memiliki tiga tujuan, yakni untuk mengenang kematian Adelina Sau sekaligus menentang hasil putusan pengadilan yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau; untuk mendukung Ibu Mariance Kabu; dan sebagai malam peringatan bagi semua orang yang mengalami kekerasan di dalam masyarakat di Hari Anti Penyiksaan Sedunia.
Ada pun organisasi yang terlibat dalam aksi bakar 1000 lilin adalah Jaringan Solidaritas Kemanusiaan; IRGSC; JRUK Kupang; Komunitas Hanaf; RMI (Rumah Milenial Indonesia); Sekolah Harmoni Kupang; Garda BMI NTT; LMID Eksekutif Kota Kupang; Sahabat Solidaritas Perempuan NTT; JPIC Divina Providentia; Serikat Buruh Migran Indonesia-NTT; Rumah Harapan-Kupang; Organisasi Perubahan Sosial Indonesia-Kupang (OPSI); Talitakhum Indonesia; Talitakum Kupang; Komunitas RVM; Komunitas SSpS; JPIC Claretian/SOMI CLARET; dan Senat Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.
Aksi ini ditutup dengan pembacaan sembilan tuntutan yang diantaranya mengutuk keras aksi kekerasan yang dialami oleh para pekerja di luar negeri, menuntut pemerintah untuk mengusut lagi hasil pengadilan Malaysia yang membebaskan pelaku kekerasan terhadap Adelina Sau serta meminta kejelasan status hukum dari kasus Mariance Kabu dan meminta pemerintah menyelesaikan kasus yang masih menumpuk di meja Polda NTT.
(Laporan Fr. Yohanes Adrianus Siki, CMF)