Wisma Skolastikat Claretian Yogyakarta. Every cloud has silver lining; setiap gumpalan awan memiliki pendar cahaya. Demikian pepatah klasik Inggris yang mengisyaratkan bahwa tak ada yang abadi dari sebuah tragedi, selalu ada akhir. Keterasingan dari wabah Covid-19 yang membuat semua terasa mencekam mesti dibungkam. Siapa dan kapan? Claret yang selalu memiliki api cinta kasih telah memberikan kita waktu. Tanggal 16 Juli merupakan momen kongreagasi yang tanpa rasa takut untuk siap mewartakan kabar sukacita. Momen ini pun tidak disia-siakan oleh penerus darah Claret.
Dalam suasana mencekam ini, Para misionaris muda Claretian Yogyakarta mewarnainya dengan kisah-kasih dalam suasana persaudaraan. Salah satunya ialah dengan menyelenggarakan mini tournament menyongsong Hari Ulang Tahun Kongregasi ke-172 sekaligus pembaruan kaul dari ke-23 frater yang akan membarui kaul-kaul kebiaraan mereka pada 16 Juli mendatang. Jenis-jenis tournament dibagi dalam dua bagian yakni indoor dan outdoor. Kegiatan-kegiatan indoor meliputi pertandingan tenis meja, biliar karambol, catur dan juga ular tangga. Sedangkan outdoor meliputi pertandingan futsal, voly dan badminton. Semua anggota komunitas terlibat aktif dalam kegiatan ini.
Kegiatan ini dipayungi tema sederhana, “Beriman dan ‘Ber’-Amin.” Kedua kata ini mewakili suasana batin dan harapan dari setiap anggota komunitas dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang sampai saat ini masih terus menyebar. Atau kalau boleh dikatakan bahwa pandemi Covid-19 ini membawa kita pada sebuah situasi yang tidak baik-baik saja. Walaupun demikian, resiliensi iman hendaknya tetap terawat agar tetap awet.
Hal ini mengindikasikan bahwa ketersituasian kita di tengah pandemi ini menimbulkan daya bagi keberlangsungan hidup komunitas. Daya yang timbul dari kenyataan “patologis” virus corona ini, tidak hanya memberi efek bagi personalitas individu tetapi juga berdimensi komunal. Dalam komunalitas itulah, daya itu semakin membara dan mengkristal. Dimensi tersebutlah yang sebetulnya hendak didramatisasi melalui kegiatan tersebut di atas. Dan lebih dari itu, kegiatan ini sesungguhnya adalah “orkestrasi sederhana” yang hendak mengingatkan kita bahwa di balik setiap negativitas masih terselubung harapan. Namun sekali lagi harapan itu selalu dikokohkan dengan iman. Agar iman dan harapan itu dapat diamini. (Rofinus Hadu, cmf)